www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-11-2018

YB. Mangunwijaya bertahun lalu pernah menuliskan tentang ‘politik everybody happy’. Dicontohkan oleh Romo Mangun, katakanlah sebuah kelas sedang memilih ketua kelas. Dalam pemilihan berkembanglah dua kubu yang cukup keras benturannya. Belum ada tanda-tanda salah satu untuk mengalah. Ketika situasi semakin memanas dan seakan tidak terdamaikan, akhirnya dibuatlah kesepakatan. Dan  kesepakatannya: dipilihlah yang paling lucu. Setelah sepakat dipilih yang paling lucu, maka dengan itu pulalah ‘everybody happy’.

Meski nampak tidak serius dalam contoh, apa yang diungkap oleh Romo Mangun itu sebenarnya bisa kita bedah lebih dalam. Dalam musyawarah untuk mufakat tentu tidak pertama-tama karena ingin ‘everybody happy’, tetapi bagaimanapun keduanya –musyawarah dan ‘everybody happy’, bisa juga punya nuansa yang tidak jauh berbeda, nuansa harmoni. Nuansa dimana banyaknya benturan akan membuat ke-kerasan-an tempat bermukim menjadi terusik, kenyamanan-kedamaian terusik, dan itu bisa berkembang menjadi sebuah kegelisahan tersendiri. Kegelisahan yang membuat hidup tidak nyaman lagi. Sedangkan dalam pemilihan presiden sekarang ini (dan 3 pilpres sebelumnya) misalnya: the winner takes all. Tidak ada sedikitpun jejak musyawarah-mufakatnya. Gap antara nuansa harmoni dan ‘the winner takes all’ ini bisa-bisa ada yang kemudian mempunyai imajinasi liar yang cenderung mbèlgèdès sifatnya: menelikung nuansa harmoni. Dan contoh Romo Mangun di atas dijadikan ‘sumber inspirasi’nya.

Imajinasi liar itu mensyaratkan background tertentu untuk keberhasilannya, yaitu pro-kontra, polemik berkepanjangan, apapun isi polemik itu –dari sontoloyo, gendruwo, budak, orang gila boleh nyoblos, ‘jasa’ pasukan China jaman Majapahit, dan banyak lagi yang ‘masih disimpan’ dan siap edar, sampai dengan konstruksi ‘wajah-wajah menyeramkan’. Lengkap dengan olah dan otak-atik kasak-kusuknya. Yang pada dasarnya tidak jauh dari contoh pemilihan ketua kelas di atas. Dan ‘hebat’nya lagi, itu bisa berarti pula: sekali dayung, dua-tiga pulau dilewati. Selain dapat sebagai background bagi munculnya ‘yang paling lucu’, silang-kegaduhan itu juga bisa sebagai ‘tempat sampah’ pembuangan energi lawan(dan fokus juga) supaya strategi dan taktik yang sudah dipersiapkan di injury-time tidak terganggu. Atau dapat dilaksanakan tanpa ada daya reaksi kontra yang cukup besar (ingat hukum aksi-reaksi dari Newton), terutama ketika kekuatan uang –yang sudah dirancang-bangun jaringan penyebar ‘logistik’-nya tersebut, akan dibanting sebagai kartu truf .

Penelikungan nuansa harmoni ini nampaknya akan lebih berhasil pada yang masih dalam kesadaran semi-transitif [i] dari Paulo Freire. Dimana dalam kesadaran semi-transitif ini penjelasan yang bersifat magis akan lebih mudah masuk dan diterima. Merusak kosmos (yang magis), meretakkan harmoni, maka dengan itu sebagian (besar?) khalayak diminta untuk menjauhi yang suka congkrah-pethakilan dan perlahan tanpa sadar kemudian akan memilih saja yang …… paling lucu …., dimana resiko meretakkan harmoni paling kecil. Itu semua kemungkinan yang merupakan ‘skenario’ imajinasi liar dari upaya mblègèdès untuk ‘menelikung harmoni’.

Gerak perubahan selalu bisa dari dua arah, perubahan dari dalam, atau dari luar, atau gabungan dengan bermacam spektrum pembobotannya. Dalam upaya ‘menelikung harmoni’ demi yang ‘paling lucu’ itu, ‘pemilik atau inisiator imajinasi liar’ seperti disebut di atas akan berupaya keras meyakinkan khalayak bahwa ‘perubahan’ yang mengarah pada retaknya harmoni adalah bersumber dari dalam. Bersumber dari kecongkrahan dan pethakilan-nya pihak-pihak tertentu dari dalam negeri. Padahal dalam sejarah republik, perubahan yang dipengaruhi faktor luar itu signifikan sekali. Dan justru yang terjadi sekarang ini ‘lebih dahsyat’, ‘yang paling lucu’ itu telah membuka lebar-lebar masuknya ‘faktor perubah dari luar’ yang mempunyai potensi besar meretakkan harmoni. Lihatlah bagaimana masalah tenaga kerja asing, atau asing yang diperbolehkan menguasai 100% usaha menengah dan kecil, sampai dengan ugal-ugalannya hutang luar negeri. Atau cobalah tanya pada yang paham soal ini: berapa kenaikan jumlah intelijen asing yang beredar di republik 4-5 tahun terakhir ini? Jadi…., masih mau memilih ‘yang paling lucu’ itu? Bahkan biar nampak semakin lucu sampai-sampai sengaja klékaran telentang ketika habis olah raga, dan khalayak berebut mendekat seakan ingin mengatakan: lucu …… lucu….. lucunya …. Bagaimana ….., masih mau pilih yang lucu-lucuan kayak ini? Tentu tidak! Sebab bisa juga sedikit dipastikan, yang lucu-lucu di politik itu pastilah adalah boneka. Tidak lain-lainnya, sekedar –sekali lagi: boneka ……. Dan sebagai boneka, lucu-nya pastilah juga mempunyai expired date. *** (21-11-2018)

 

[i]  Lihat: http://www.pergerakankebangsaan.com/153-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-1/

Bukan untuk 'Everybody happy'

 

gallery/bean