www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-11-2018

Suka-tidak-suka, pendidikan terkait erat dengan politik. Dan jika politik adalah masalah power, kekuasaan, pendidikan-pun tidak akan lepas dari denyutnya. Pendidikan adalah dinamit dari kolonialisme, demikian seorang antropolog –Raymond Kennedy, pernah menandaskan. Dan juga pernyataan-pernyataan tidak jauh berbeda dari banyak tokoh. Satu hal yang mesti kita perhatikan dengan serius adalah soal berbahasa di pendidikan dasar kita. Mengapa bahasa dan mengapa pendidikan dasar? Jika kita menelisik lebih dalam gelar pendidikan dasar kita, pertanyaan ini bisa kita rubah: mengapa masalah berbahasa di pendidikan dasar kita terasa sempit ruang dan waktunya?

“Setiap mahasiswa yang ingin studi kimia harus mempunyai nilai tinggi untuk matematika dan bahasa Jerman. Nilai baik dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak begitu penting nilai-nilai fisika dan kimia,” demikian kata salah seorang rektor universitas di Jerman seperti dikutip oleh Drost.[i] Menurut Drost, tuntutan universitas-universitas di Jerman pada calon mahasiwanya dapat dipadatkan dalam satu kata: hochschulreife. Semua calon harus mencapai hochschulreife, artinya: kematangan, baik intelektual maupun emosional. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa.[ii] Apa yang disampaikan oleh Drost ini secara samar-samar bisa kita rasakan bahwa bernalar dan bertutur itu sedikit banyak akan berurusan dengan kemungkinan, posibilitas: menguak berbagai kemungkinan.

Dalam sejarah manusia, angka nol belumlah ada sampai dengan 300 tahun sebelum masehi. Ketika angka nol muncul sebagai ‘anugerah’ besar dalam khazanah bahasa, maka berbagai (banyaaak) kemungkinan-pun perlahan terkuak. Bahasa tidak hanya menjadikan kita ‘relaks’ ketika berbagai fenomena datang menghampiri kita, tetapi juga dapat mendorong untuk semakin menguak lapis-demi-lapis, melihat dari berbagai sudut fenomena tersebut karena bagaimana-pun saat kita menerima fenomena tersebut, pastilah ada sisi yang absence. Tidak hanya dalam proses penerimaan fenomena, tetapi bahasa juga akan membantu kita mengkomunikasikan imajinasi kita terhadap fenomena tersebut dengan orang lain, intersubyektifitas. Dan tidak hanya sebagai mediasi dalam komunikasi, bahkan Heidegger dalam Letter on Humanism (1947) menandaskan: “Language is house of Being. In its home man dwells. Those who think and those who create with words are the guardians of this home.

Pendidikan dasar adalah sebuah harta karun bagi anak-anak kita, terlebih di era digital ini. Mengapa? Karena proses tatap muka-nya, baik tatap muka dengan guru dan unsur lain di sekolah dan sekitar, maupun dengan teman-temannya. Tatap muka langsung ini sungguh adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak-anak kita. Berani berucap tidaklah semata urusan genetika, tetapi juga faktor nurtur berperan penting. Keberanian berkata-kata di depan teman-temannya, apapun itu yang diucapkan, haruslah dimulai segera setelah masuk pendidikan dasar. Dan itu perlu ruang dan waktu sendiri. Dan jauhkanlah dari evaluasi kompetensi!!! Ya, memang harus dengan sadar ruang dan waktu untuk itu harus disediakan. Tidak perlu memberikan banyak hal pada awal-awal pendidikan dasar, apalagi dibungkus dengan kompetensi! Dan tidak hanya berani berucap, tetapi juga mampu memberikan apresiasi terhadap teman-teman yang sedang berucap, perlu juga dikembangkan. Jika ini dilakukan dengan ruang dan waktu yang luas, tatap-muka itu sungguh akan bermakna besar bagi anak, bahkan bertahun kemudian setelah ia dewasa. Tentu dengan berjalannya waktu, bagaimana harus berucap, bertutur kualitasnya dikembangkan juga, baik dari sisi ‘teknik’ maupun isinya.

Kembali pada pertanyaan di atas, mengapa masalah berbahasa di pendidikan dasar kita terasa sempit ruang dan waktunya? Atau bisa kita lanjutkan: “Mengapa keputusan politik menghasilkan yang seperti itu?” Jangan sampai suatu saat ada tulisan ‘Can subaltern speak?’ (Gayatri Spivak) dengan latar belakang kasusnya di republik! *** (18-11-2018)

 

[i] Drost, SJ., Dari KBK sampai MBS, Esai-esai Pendidikan, Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 25

[ii] Ibid

Berbahasa di Pendidikan Dasar

 

gallery/sd bermain