www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-11-2018

Menghadapi pilpres 2019, ada hal tidak boleh dilupakan, yaitu hal terkait dengan ‘pakta dominasi’ dan ‘dramaturgi’-nya. Pakta dominasi sebagai sebuah istilah banyak dipakai oleh salah satu tokoh teori ketergantungan Fernando Henrique Cardoso, di masa-masa puncak Perang Dingin. Cardoso membuat pembedaan antara negara dan rejim, yang mana rejim didefinisikan sebagai “formal rules that link the main political institutions (legislature to the executive, executive to the judiciary, and party system to them all), as well as the issue of the political nature of the ties between citizens and rulers (democratic, oligarchic, totalitarian, or whatever).[i] Bagi Cardoso, apa itu mau disebut sebagai rejim demokratik, oligarki, totaliter, atau apapun namanya, adalah rejim sekunder. Bagi kita di republik, rejim primer adalah rejim oligarki-pemburu rente. Komplotan mbèlgèdès inilah jika kita memakai kacamata Cardoso merupakan rejim primernya, yang dapat dibedakan dengan negara. Republik telah menjadi sebuah pakta dominasi dimana komplotan oligarki-pemburu rente telah menjadi semacam ‘kelas-dominan’-nya.

Cobalah kita bayangkan mengapa negeri subur ini tidak kunjung mampu mewujudkan kedaulatan-pangan-nya? Apakah lahannya kurang? Petani-nya kurang giat dan trampil? Lembaga penelitian-universitas pendukungnya hanya nggedebus saja? Atau terutama karena ulah sontoloyo oligarki-pemburu rente ranah pangan itu? Masalah pangan di republik bisa jadi merupakan contoh terbaik bagaimana ketika pakta dominasi di tangan oligarki-pemburu rente dapat begitu mempengaruhi kualitas berbangsa-bernegara kita. Dan juga energi sebenarnya.

Dramaturgi dipakai oleh Erving Goffman untuk menggambarkan bagaimana kita hidup dari satu permainan ke permainan. Ketika kita masuk rumah sakit misalnya, kita bermain peran dalam ‘permainan’ atau ‘drama’ di rumah sakit. Ada yang berperan sebagai dokter, perawat, petugas administrasi, kebersihan, keamanan, dan pasien misalnya. Masing-masing seakan terikat dengan sebuah aturan dasar dalam ‘drama’ di rumah sakit itu, dan berdasarkan itu juga bagaimana harus berperan. Mungkin dengan beberapa perbedaan, rumah sakit dengan bermacam aturan dasarnya itu bisa dikatakan sebagai ‘ranah’ dalam term Pierre Bourdieu.

Judul tulisan ini adalah Dramaturgi Pakta Dominasi, dimaksudkan sebagai bagaimana ‘komposisi dan produksi dari permainan-permainan’[ii] yang ditujukan untuk mendukung langgengnya pakta dominasi di tangan komplotan oligarki-pemburu rente. Kalau contoh di atas adalah rumah sakit, bagaimana dengan ‘rumah politik’? Jika politik adalah masalah power maka ada dua hal, merebut power (hëgemonia) dan menggunakan power (arche).[iii] Hal merebut power sekarang ini jalan demokrasi-lah yang mesti ditapak, sedang menggunakan power, jalan demokrasi adalah pilihan. Pilihan lain: totalitarianisme dengan berbagai spektrumnya. Baik demokrasi maupun totaliter tetaplah merupakan rejim sekunder –paling tidak menurut Cardoso seperti disampaikan di atas, sebab yang primer adalah rejim oligarki-pemburu rente itu.

Dengan jalan lain maka dalam konteks republik, demokrasi, totaliter, oligarki, atau apapun itu yang dimasukkan Cardoso sebagai rejim sekunder, dapat dilihat sebagai moments: nonindependent parts. Dalam Fenomenologi dikenal tiga struktur formal: (1) parts dan wholes, (2) identity in a manifold, dan (3) presence dan.absence [iv] Sama-sama merupakan parts, rejim oligarki-pemburu rente sebagai rejim primer merupakan pieces: independent parts. The wholes rejim oligarki-pemburu rente dalam konteks ini adalah denyut pakta dominasi global. Maka tidak mengherankan, seiring dengan meningkatnya peran China dalam peta geopolitik-geoekonomi di Pasifik, oligarki-pemburu rente sebagai parts-pun ikut-ikutan menggeliat-gatal. Sedangkan wholes bagi rejim sekunder di republik adalah denyut pakta dominasi nasional. Bisa dilihat di sini –sedikit-banyak, bagaimana tergambarkan kesesuaiannya dengan teori ketergantungan.

“A whole can be called a concretum, something that can exist and present itself andbe experienced as a concrete individual. A piece, an independent parts, is a part that can itself become a concretum. Moments, however, cannot become concreta,”[v] demikian Sokolowski dalam Introduction to Phenomenology. Demokrasi, totaliter, dll sebagai rejim sekunder tetaplah abstrak sifatnya. Dia hanya bisa dirasakan in-concreto melalui aktor-aktornya, pelaku-pelakunya, beserta perilaku dan kebijakannya. Pada titik inilah kita bicara dramaturgi. Bagi komplotan oligarki-pemburu rente, aktor dengan peran ksatria, mempunyai sifat-sifat ksatria, jelas bukanlah pilihan. Aktor kesayangan mereka adalah para kutu loncat.[vi] Juga mereka sangat menyukai ‘aktor’ seperti Ruhut, Abu Janda, Ngabalin, dan banyak lagi. Jika sebuah drama selalu ada penonton, mereka sangat ingin sekali adanya penonton yang bisanya hanya bertepuk tangan. Penonton yang mampu memberikan sangsi sosial sungguh tidak diharapkan sama sekali. Maka adalah penting seorang koruptor lengkap dengan baju oranye untuk tampil masih dengan wajah sumringah dan terus melambaikan tangan. *** (17-11-2018)

 

[i] Robert A. Packenham, The Dependency Movement, Harvard University Press, 1992, hlm.  95

[ii] Arti dramaturgi dari asal katanya.

[iii] Lihat, https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[iv] Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology, Cambridge University Press, 2000, hlm. 22

[v] Ibid, hlm. 24

[vi] Lihat juga, https://www.pergerakankebangsaan.com/102-Mengapa-Harus-Loncat-Kutu/

Dramaturgi Pakta Dominasi

 

gallery/goffman