www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-11-2018

Bagaimana rasanya ketika anda dibilang “asu tenan kowé, kok ora kabar-kabar ....” oleh teman dekat anda yang lama tidak jumpa? Atau ketika anda turun dari angkot, belum kaki menapak jalan si-sopir sudah injak gas, dan refleks saja anda bilang dengan nada tinggi, “asu tenan kowé” ke si-sopir? Dan ketika sopir langsung menghentikan angkot, turun dan menghampiri anda, dan anda terus bilang ke sopir: “tenang-tenang mas.... egalitèr .... egalitèr .....”, kira-kira apa tanggapan si-sopir?

Sama-sama bilang “asu” akan dirasa beda jika konteks berbeda. Tetapi lepas dari konteks, Albert Mehrabian di penghujung dekade 60-an, hampir 40 tahun lalu, membuat penelitian terkait dengan komunikasi verbal dan non-verbal. Dan dari hasil penelitian tersebut, dalam komunikasi ternyata isi atau apa yang dikatakan itu hanya merupakan 7% dari keseluruhan bagaimana pesan ditangkap oleh lawan bicara. 38% menurut Mehrabian adalah masalah pengaruh dari intonasi, volume, dan 55% adalah bahasa tubuh (body language).

Dalam contoh pertama, frase “asu tenan kowé” dikatakan dengan nada datar dan sambil senyum, tangan merangkul. Sedangkan dalam contoh ke-dua, anda misalnya, bilang ke sopir “asu tenan kowé” sambil penthelang-pentheleng dan nada tinggi. Memang ada konteks, tetapi jika konteks dihilangkan maka tetap saja nada-volume, intonasi, dan ekspresi wajah misalnya, atau dengan tangan teracung  mengepal misalnya, akan mempengaruhi bagaimana pesan itu akan diterima oleh lawan bicara atau bahkan khalayak.

Meski bisa saja kurang setuju terkait dengan besar prosentase pengaruhnya, tetap saja apa yang disebut dengan bahasa tubuh itu sangat penting. Bahkan bisa dikatakan, sebelum kata mewujud, kita berkomunikasi dengan bahasa tubuh, contoh ketika kita masih bayi, atau ketika kita bicara tatap muka, tarikan wajah bisa mengatakan banyak hal. Maka tak heran jika dalam meja permainan kartu ada disebut sebagai poker face, pandai menyembunyikan gerak wajah atau bahkan memanipulasi gerak wajah supaya kartu asli di tangan tetap tidak diketahui. Di politik-pun ada yang menyebut sebagai ‘penipu berdarah dingin’, mungkin menunjuk tak jauh dari fungsi poker face dalam permainan kartu itu. Orang Jawa Tengah selatan mungkin menyebut sebagai ‘rai nggedebus’. Nggedebus[*] untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya ada di tangan, atau apa kepentingan yang sebenarnya sedang diperjuangkan.

Eksploitasi bahasa tubuh[†] ini bisa dahsyat outcome-nya. Lihat saja apa outcome dari masuk got, bawa gitar di KPK, naik di atas kap ‘mobil nasional’ –dan diarak, naik pinggir tangga sedang jika naik anak-tangga-nya-pun bisa, dan banyaak lagi, bertahun silam. Tentu masih ada beberapa hal terkait, tetapi apapun itu, hal tersebut membuktikan apa yang diteliti oleh Albert Mehrabian 40 tahun lalu itu banyak benarnya.

Hal intonasi, dalam satu penelitianpun menunjukkan tidak hanya penting bagi manusia, tetapi juga hewan, dalam penelitian tersebut adalah anjing dan kucing. Ternyata anjing-pun bisa memahami ketika kata diucap oleh tuannya, dalam nada marah –nada tinggi misalnya, atau tidak melalui intonasi kata-kata terucap dari tuannya.*** (07-11-2018)

 

[*] Nggedebus: omong kosong

[†] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/113-Demagog-Zaman-Milenial-dan-COD-nya/ dan https://www.pergerakankebangsaan.com/029-Kambing-Hitam-Itu/

Belajar Dari Mehrabian

 

gallery/dog