www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-11-2018

Di akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, Paulo Freire mengamati bahwa kesadaran transitif-naif merupakan tingkat kesadaran yang menguasai kota-kota di Brazil.[i] Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif ini terjadi antara sistem yang ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh.[ii]  Paulo Freire menggambarkan kesadaran transitif-naif ini dengan “ditandai dengan penyederhanaan masalah .... penjelasan yang fantastis .... dan argumentasi yang rapuh.[iii] Masalah utama menurut yang berkesadaran transitif-naif ini adalah pada orang, bukan sistem atau stuktur-struktur yang melingkupi.

Selain hal di atas, kesadaran transitif-naif ini adalah juga kesadaran dari manusia yang masih menjadi bagian dari massa, di mana perkembangan kemampuan berdialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Jika kesadaran ini tidak berkembang ke tingkat kesadaran transitif-kritis, maka kesadaran ini mungkin akan dapat diselewengkan menjadi fanatisme.[iv] Maka bagi yang ingin melanggengkan dominasi, ruang publik sebaiknya ‘dijaga’ agar jangan dibiarkan menjadi ajang atau ‘sekolah’ bagi berkembangnya kesadaran transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis. Caranya? Salah satunya adalah ‘melepas’ pembicara-pembicara kelas medioker yang isi omongannya bisa dikatakan dekat dengan ‘asal njeplak’ saja. Bahkan sering lekat dengan provokasi.

Kesadaran fanatik tidak termasuk dalam tiga fase perkembangan conscientizacao, tetapi merupakan distorsi yang oleh Freire diletakkan di antara kesadaran naif dan kesadaran kritis.[v] Menurut Freire seperti dikutip oleh Smith: “Ada sebuah hubungan potensial yang erat antara kesadaran naif dan massifikasi. Jika seseorang tidak bergerak dari kesadaran naif menuju ke kesadaran kritis, tetapi malah terjatuh ke dalam kesadaran fanatik, maka dia akan menjadi lebih jauh dari realitas dibandingkan ketika berada dalam kesadaran semi-intransitif”.[vi] Apa yang dijelaskan oleh Freire ini akan membantu banyak untuk memahami gejala yang merebak di tahun-tahun akhir ini: partisan digital.

Retaknya masyarakat bisu dalam kesadaran semi-intransitif ini dipercepat dengan merebaknya era digital. Tetapi pada saat yang sama, era digital yang juga menimang ‘logika waktu pendek’ dimana dalam ‘logika’ ini terdapat kecenderungan kuat untuk tidak serta merta mendorong transformasi dari kesadaran naif ke kesadaran kritis. Gap yang terjadi antara kesadaran naif dan kesadaran kritis inilah yang kemudian dieksploitasi oleh ‘para dominator’ untuk melanggengkan dominasinya dengan mengembang-biakkan partisan digital. Buzzer-buzzer bayaran juga berperan penting dalam konstruksi partisan digital ini. Tidak hanya ruang publik yang terus diganggu oleh ‘komentator-komentator medioker piaraan kelas dominan’, tetapi juga ‘ruang publik digital’ terus diganggu oleh buzzer-buzzer bayaran itu. Istilah-istilah seperti ahoker atau jokower  di dunia digital sedikit banyak memberikan gambaran bagaimana konstruksi fanatisme dalam konteks freireian ini telah mewujud di republik. Dan nampak sekali itu bukanlah sebuah ‘gerak alamiah’ tetapi –meminjam istilah Freire, sebuah kesadaran yang masih menjadi bagian dari massa (dan dengan sengaja demi langgengnya dominasi), yang kemudian diselewengkan secara sistematis dan masif.

Partisan menurut Che Guevara adalah ‘yesuit-nya perang’. Maka bayangkan jika benturan dirasa perlu oleh yang sedang memegang pakta dominasi demi langgengnya dominasi, di medan benturan massa dipimpin oleh para partisan-digital dan turunannya ini ditambah dengan guyuran ‘logistik’ pada yang masih berkutat di level kesadaran semi-intransitif. Maka ....... hati-hati ........*** (03-11-2018)

 

[i] Paulo Freire, Pendidikan Yang membebaskan, Penerbit MELIBAS,  2001 hlm. 21

[ii] William A. Smith, Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pustaka Pelajar, 2001 hlm. 69

[iii] Ibid

[iv] Paulo Freire,.... hlm. 21

[v] William A. Smith, ....hlm. 91

[vi] Ibid

Manipulasi di Tiga Lapangan (2)

 

gallery/freire