www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-11-2018

Manipulasi dari asal kata salah satunya terkait dengan bagaimana menangani orang lain semata sebagai obyek saja. Salah satu dimensi penting manusia adalah kesadarannya, dan menurut Paulo Freire kesadaran bermacam manusia dapat dibedakan menjadi, manusia dengan kesadaran semi-intransitif (magis), transitif-naif, dan transitif-kritis. Dengan karateristik masing-masing di setiap level kesadaran maka dapat dibayangkan pula manipulasi-pun bisa menjadi bermacam bentuknya. Bagi pendidik, pembedaan level kesadaran ini bisa membantu sebagai semacam peta bagi dimulainya satu bentuk pembelajaran yang membebaskan. Tapi bagi ‘ahli-manipulasi’ peta level kesadaran ‘freireian’ ini bisa juga akan menuntun dikembangkannya berbagai bentuk manipulasi yang ujung akhirnya justru semakin menguatnya dominasi. Atau, mereka dibayar memang untuk melanggengkan dominasi.

Bagi yang ingin melanggengkan dominasi, pertanyaannya adalah apa yang mesti kulakukan untuk sekelompok manusia yang masih dalam level kesadaran semi-intransitif atau magis itu? Bentuk manipulasi apa yang mesti dikembangkan? Menurut Paulo Freire, manusia dengan kesadaran semi-intransitif tidak dapat memahami masalah-masalah yang berada di luar lingkungan kebutuhan biologisnya.[1] Mereka juga ‘terperangkap dalam mitos inferioritas alamiah’.[2] Paulo Freire seperti dikutip Smith menegaskan pula: “Orang-orang tidak bisa membedakan antara persepsi mereka atas obyek-obyek dari tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungannya, sehingga mereka terjatuh pada penjelasan magis karena mereka tidak dapat menangkap kausalitas yang sebenarnya.”[3] Alih-alih menolak penindasan, bahkan dalam kesadaran semi-intransitif ini orang-orang tertindas secara individual justru bekerjasama dengan penindas.[4] Penindas menjadi model apa yang disebut “orang baik”. Dari tanah-tanah mereka, orang-orang mendapat pekerjaan, dari meja mereka, orang-orang mendapat makanan, dan dari kedermawanan mereka, orang-orang bisa menjaga kesehatan.[5]

Apa yang akan dilakukan oleh para-ahli-manipulasi ketika menghadapi masyarakat dengan level kesadaran semi-intransitif ini? Mengambil istilah dari Paulo Freire, ada satu hal terpenting: anti-dialog! Ketika ada khalayak mulai mempertanyakan –mengharapkan ada dialog, terkait dengan hal kebutuhan dasar mereka, sikat saja! Sikat dengan kata-kata menohok, yang bagi sementara orang akan nampak terdengar sungguh mbèlgèdès, karena sejatinya memang tidak pantas terucap oleh petinggi negara. Tetapi toh itu diucapkan, dengan harapan khalayak untuk segera masuk lagi ke ‘masyarakat bisu’, jadi .... jangan banyak tanya! Termasuk juga lempar-lempar hadiah ke rakyat dari dalam mobil sedang berjalan, itu adalah juga gambaran bahasa tubuh yang anti-dialog juga.

Kesadaran magis dalam semi-intransitif ini-pun bagi kepentingan ‘sang-dominator’ justru patut untuk dipertahankan. Maka tak heran pula bagaimana seorang pemimpin kemudian dilekati dengan aura-aura magis, dipersamakan dengan bermacam pemimpin besar dunia, bahkan Tuhan dan Nabi! Yang bagi sementara orang itu sudah seperti gila-gilaan, tak tahu malu lagi. Tetapi toh tetap dilakukan juga, kenapa? Karena memang sasarannya adalah sekelompok masyarakat yang masih dalam level kesadaran magis atau semi-intransitif itu. Dan karena segmen masyarakat  dengan kesadaran semi-intransitif ini juga masih sulit untuk dapat memahami masalah-masalah yang berada di luar lingkungan kebutuhan biologisnya seperti sudah disebut di atas, maka dalam moment pemilihan  money politics-pun akan siap merebak sebagai pelengkap paripurna. Baik dalam bentuk uang, beras, bingkisan, dan lainnya. *** (03-11-2018)

 

[1] Paulo freire, Pendidikan Yang membebaskan, Penerbit MELIBAS,  2001, hlm. 19

[2] Wlliam A. Smith, Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 60

[3] Ibid, hlm. 63

[4] Ibid, hlm. 68

[5] Ibid

Manipulasi di Tiga Lapangan (1)

 

gallery/freire