www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-10-2018

Benjamin Franklin pernah mengutip puisi yang sudah beredar sejak abad 13 di Jerman dan abad 14 di Inggris, sebagai berikut:

For want of a nail the shoe was lost,

For want of shoe the horse was lost,

For want of a horse the rider was lost,

For want of a rider the battle was lost,

For want of a battle the kingdom was lost,

And all for the want of a horseshoe nail.

Kutipan di atas sedikit banyak dapat menggambarkan apa yang  dimaksud dengan ‘butterfly effect’ itu. Satu kepakan kecil kupu-kupu di hutan Amazon yang dengan reaksi berantainya akhirnya dapat membuat badai besar di berbagai tempat.

Empat-enam tahun yang lalu, dan beberapa peristiwa kemudian, kita mendapatkan ‘kegilaan’ akan daya ungkit. Mobil Esemka dipermak sedemikian rupa –baik melalui kerumunan maupun puja-puji via media, sehingga memberikan daya ungkit ‘gila-gila’-an bagi yang memanfaatkan untuk mendongkrak popularitas, misalnya. Juga aksi masuk got, bawa gitar ke KPK, sampai dengan kampung deret. Dan banyaaak lagi. Dari setting kerumunan sampai puja-puji setinggi langit. ‘Investasi’ yang jelas gila-gila-an juga. Dan tanpa sadar, kegilaan akan leverage, daya ungkit itu telah menebar juga benih-benih ‘kepakan kupu-kupu’ yang akan kita rasakan hembusan badainya satu-dua-tiga-empat tahun kemudian. ‘Kupu-kupu’ ke-medioker-an yang tenggelam atau sengaja ditenggelamkan dalam kegilaan daya ungkit.

Leadership, it may be said, is really what makes the world go round,” demikian ditulis Arthur M. Schlesinger, Jr. dalam Foreword buku Angela Merkel karangan Clifford W. Mills (2008).  Maka ketika ke-medioker-an itu mengendap erat dalam diri seorang ‘pemimpin’, kepakan-nya akan juga menebarkan ke-medioker-an. Tidak terhindarkan karena seperti dikutip oleh si Bung, “manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hati, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya.”[1]

Barack Obama sebagai presiden AS, delapan tahun lalu bersikap tegas terhadap aksi penolakan berdirinya mesjid di sekitar Ground Zero, dengan mengingatkan warganya mengapa Amerika sebagai sebuah negara itu ada. “This is America, and our commitment to religious freedom must be unshakable. The principle that people of all faiths are welcome in this country, and will not be treated differently by their government, is essential to who we are.”[2] Dengan mempertaruhkan, katakanlah popularitasnya, Obama tanpa ragu menandaskan hal di atas kepada warganya. Pastilah hal yang tidak jauh berbeda akan diucapkan Obama jika ada pemuka agama yang tertahan di bandara karena ditolak, dan lebih-lebih lagi diancam-ancam secara kasar. Mungkin Obama sadar bahwa salah satu indikator penting dari kualitas seorang pemimpin adalah bagaimana ia merespon terhadap berbagai masalah, terutama masalah yang mendasar. ‘Pemimpin’ medioker, apalagi plonga-plongo, tidak akan pernah paham soal ini. Dan karena ke-medioker-annya itu, sadar atau tidak, akan dapat memberikan ‘efek kupu-kupu’ yang ujung jauhnya bisa dahsyat dan begitu merusak. Bahkan bisa jadi kita tak akan habis-habisnya garuk-garuk kepala, heran-cemas, mengapa republik kok jadi begini ..... –tak terbayangkan sebelumnya. Buktinya? Banyak!! *** (23-10-2018)

 

[1] “Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijmen wat man is”

[2] https://www.nytimes.com/2010/08/14/us/politics/14obama.html

"Butterfly Effect"

Ke-medioker-an

 

gallery/butterfly effect
gallery/jokowi karnaval