www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Kita Kalau Salah,     

Kita Akui Kalau Salah

gallery/heroic

05-10-2018

“Kepemimpinan tidak didefinisikan oleh skala peluang, melainkan oleh kualitas respons terhadapnya,” demikian Chris Lowney dalam Heroic Leadership. Karena “seseorang tak dapat mengendalikan seluruh keadaan sekitar yang dihadapinya, melainkan hanya responsnya terhadap keadaan itu,” lanjut Lowney.[1] Kualitas respons itulah bagian besar dari kualitas modo de proceder, cara bertindak yang akan membedakan dengan cara bertindak yang lain.

 

Prabowo Subianto sebagai salah satu calon presiden telah memberikan contoh bagi kita semua bagaimana modo de proceder dalam me-respons, dalam hal ini terkait dengan kebohongan RS. “Kita kalau salah, kita akui kalau salah,” demikian penggalan pernyataan Prabowo secara spontan, keluar mengalir tanpa hambatan. Tidak mudah, bahkan bagi kita semua ‘yang-bukan-apa-apa’ ini, dengan sikap tegas mengatakan dan menerapkan pada diri: ‘kalau salah, akui kalau salah’. Apa yang dinampakkan oleh Prabowo kepada kita itu, menurut Chris Lowney dalam Heroic Leadership bisa dikatakan sebagai salah satu dari kualitas sebuah kepemimpinan: mampu mengelola kelekatan dengan baik.

 

Kelekatan yang dimaksud di sini adalah, dan coba bayangkan kita punya HP, bukan masalah kita punya HP, tetapi adalah kelekatannya, artinya seakan kita tidak bisa hidup atau dunia akan runtuh jika kita sedang tidak ber-HP. Dan bayangkan pula jika kemudian kita bicara kelekatan itu dalam ranah hasrat. Itulah mengapa misalnya, muncul dongeng mirror mirror who is the most beautiful.

 

Pencemaran nama baik, inilah salah satu frase yang sering kita dengar. Nama baik, apapun itu adalah sebuah hasrat, menurut Platon ada di dada. Dan yang namanya hasrat pasti mempunyai ujung ekstremnya, apapun hasrat itu. Sebuah gejolak. Bisa juga sebuah mania. Mengakui kesalahan bagaimanapun bisa dianggap akan mempertaruhkan nama baik. Dianggap, karena sejatinya tidak musti seperti itu. Tetapi jika ada orang setiap pagi di depan cermin mengatakan, cermin siapa yang paling punya nama baik, jelas ia tidak akan pernah mengakui kesalahan yang dibuatnya. Sekalipun. Ia terlalu lekat dengan hasrat akan nama baik itu. Prabowo dengan mengakui kesalahan terkait kebohongan RS, telah menunjukkan bagaimana ia mampu mengelola kelekatan itu. Demikian juga Sandiaga Uno ketika dengan cepat ia memutuskan mundur dari jabatan wakil gubernur DKI. Sandiaga jelas tidak setiap hari di depan cermin sedang bergumam: mirror mirror who is the most powerful?

 

Mengapa kelekatan itu mesti dikelola dengan benar sebagai seorang pemimpin? Karena pemimpin itu bisa diibaratkan dengan berdiri dengan satu kaki, kaki lainnya terangkat. Kaki satu yang untuk berdiri itu kokoh kuat terbenam dalam amanat konstitusi, dalam semangat Proklamasi. Sedang satu kaki terangkat adalah gambaran selalu siap untuk mengantisipasi segala perubahan atau tantangan yang ada. Bagaimana bisa satu kaki terangkat jika mengelola secara benar kelekatan-kelekatan saja tidak mampu? Maka janganlah berharap terlalu tinggi jika kita menemui seorang ‘pemimpin’ yang terbukti mengelola kelekatan-kelekatan tersebut masih gagap, masih ragu.***

 

(05-10-2018)

 

[1] Chris Lowbey, Heroic Leadership, Gramedia, 2005, hlm. 22