www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-9-2018

Cobalah cermati jejak digital ketika Jokowi di depan relawannya mengatakan untuk berani berantem, lihat respon audiensnya. Bayangkan pula ketika hal yang sama disampaikan oleh Jokowi melalui twitter misalnya, akankah respon pembacanya akan sama dengan respon audiens ketika itu dikatakan secara langsung?[1] Dari tiga modus komunikasi menurut Alvin Toffler, man-to-man/face-to-face, man-to-mass, dan mass-to-mass, modus komunikasi face-to-face adalah yang tertua. Revolusi Industri mempercepat pengembangan modus man-to-mass seperti komunikasi melalui surat kabar, radio, dan terutama televisi. Revolusi Informasi di abad XXI dengan era digital-internetnya, mengembangkan modus mass-to-mass.

Apa beda #2019gantipresiden dan deklarasinya? #2019gantipresiden adalah ranah komunikasi mass-to-mass melalui dunia digital-internet, sedang deklarasinya adalah di ranah komunikasi face-to-face atau man-to-man. Atau misalnya, apa beda Rocky Gerung yang dikenal melalui twit-twit cerdasnya, dengan ketika Rocky datang ke berbagai kota untuk memenuhi undangan diskusi? Dan tentu yang fenomenal, Ustadz Abdul Somad, the power of face-to-face communication mendapatkan contoh gigantiknya.

 

 

 

 

 

 

Komunikasi langsung tatap muka bisa juga terbatas dalam ruangan, misal diskusi yang teragendakan bersama Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet itu. Atau bahkan lebih kecil lagi, dalam kelompok kecil di serambi mesjid misalnya, atau di dalam keluarga, atau bahkan antar dua orang saja. Di dalam dunia ketika komunikasi mass-to-mass via internet begitu merebaknya, komunikasi tatap muka ini bisa dikatakan sebagai harta karun yang kadang terlupakan.

Tetapi dalam ranah kekuasaan dan perebutannya, ketika pihak yang merasa menguasai modus komunikasi man-to-mass seperti jaman otoritarianisme abad XX, dan mempunyai power untuk ‘mengusik’ modus komunikasi mass-to-mass, komunikasi face-to-face atau tatap muka langsung ini tentu akan menjadi batu kerikil tajam yang tersembunyi dalam sepatu kekuasaannya. Maka tidak ada pilihan bagi mereka untuk berusaha supaya modus komunikasi ini tetaplah sebagai harta karun yang terpendam saja. Kalau perlu jauh terpendam begitu dalamnya di perut bumi.

Yang kadang dilupakan bahwa sebesar apapun media mass-to-mass ‘diusik’ dia tidak akan pernah berhasil untuk mematikannya. Dalam dunia pembingkaian, mungkin bisa dikatakan ‘dunia-yang-sulit-diusik’ ini, modus mass-to-mass abad XXI ini akan menyediakan apa yang disebut George Lakoff sebagai ‘deep-frame’. Sedang modus komunikasi tatap muka adalah sebagai ‘surface-frame’. Dan sebenarnya mungkin lebih dari itu, sebab dalam tatap muka itu satu hal yang sangat mungkin terjadi: peneguhan. Dan kalau menurut Walter J. Ong, bukan saja peneguhan tetapi juga akan mempersatukan.[2]

Dan siapa yang tidak ‘keder’?*** (02-9-2018)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/121-Kelisanan/

[2] Ibid

The Power of Face-to-Face Communication

gallery/somad