www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-8-2018

Bagi Alvin Toffler, abad XXI akan terjadi pergeseran kekuatan (power shift), dan itu adalah ketika pengetahuan (knowledge) menjadi ujung tombak dari tiga sumber kekuatan yang ada, knowledge, wealth, dan violence. Maka mestinya yang disebut sebagai generasi milenial ini adalah yang bukan sekedar terampil dan akrab dengan produk-produk abad XXI saja, tetapi juga mampu menghayati pengetahuan sebagai sumber utama untuk masuk dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Kalau ada yang mengidentifikasi yang milenial ini dengan pakai jaket melambai kena angin karena sedang naik chopper, maka sosok itu sebenarnya sedang memperkenalkan diri sebagai yang milenial kelas medioker saja. Tidak lebih, dan bahkan sudah maksimal itu. Apalagi di tambah dengan narasi ‘keren’. Norak habis.

 

 

 

 

 

Pengetahuan sebagai ujung tombak bukan berarti harus seorang profesor berdiri paling depan. Seorang profesor atau akademikus atau juga peneliti tekun jelas merupakan sumber daya sangat berharga dalam mengarungi abad XXI ini, tetapi bukan berarti pula pengetahuan sebagai sumber kekuatan hanya milik mereka-mereka saja. Pengetahuan, apalagi di era digital abad XXI ini telah berkembang sebagai salah satu entitas yang sifatnya sungguh sudah sangat terbuka. Begitu terbukanya akses kepada berbagai pengetahuan menjadikan berkembangnya banyak sudut pandang tak terhindarkan juga. Dan tidak ada yang salah dengan itu semua. Maka sebenarnya, dibalik pergeseran ke kekuatan pengetahuan ini ada prasyarat yang mesti ikut dikembangkan juga, yaitu kemampuan untuk mengadakan dialog. Dalam dialog selain ada saling keterbukaan, jelas juga kemampuan mawas diri adalah prasyarat yang harus ada. Apalagi jika kita bicara kekuatan pengetahuan dalam ranah kekuasaan.

Cobalah kita lihat pengalaman di belahan dunia lain di bagian akhir abad XX, di akhir tahun 1960-an ketika Paulo Freire mengadakan inovasi dalam program pemberantasan buta huruf di Brasil sana. Freire tidak mengajarkan misalnya dengan kata-kata: i-ni i-bu Bu-di misalnya, kata-kata yang tidak akrab di telinga petani-petani yang menjadi sasaran utama pemberantasan buta hurufnya. Tetapi Freire memakai kata-kata yang akrab, seperti misalnya sawah, padi, penggiligan, pasar, dan seterusnya. Hasilnya? Tidak hanya bisa membaca, tetapi para petani tersebut secara perlahan juga akhirnya mampu melihat realitas dari sudut pandang baru, realitas yang memiskinkan mereka meski segala keringat sudah diperas. Hasil dari program pemberantasan buta huruf yang seperti itu ternyata mengusik kekuasaan, dan ujungnya Paulo Freire diusir dari Brasil. Apa yang terjadi pada Paulo Freire ini disampaikan hanya untuk memperlihatkan bahwa ketika berhadapan dengan kekuasaan, kadang menghayati pengetahuan sebagai kekuatan-pun bukannya tanpa hambatan. Contoh yang terlalu sering di depan mata, mengapa ‘komentator-komentator’ kelas medioker yang ujarnya sering tidak pantas dan tidak bermutu justru ‘yang dilepas’ untuk ‘berkeliaran’ di ruang publik? Tentu mereka-mereka juga punya hak, dan kita tidak boleh menolaknya pula. Hanya saja, tentu kita boleh membuat analisa terhadap fenomena ini juga.

Apakah ketika mencari pemimpin di abad XXI ini, katakanlah secara populer era milenial ini, berarti juga kita mencari pemimpin yang kompatibel terhadap semangat jaman? Ya, tentu saja jawabannya. Dan jika memakai analisa Toffler, kita mencari pemimpin milenial yang betul-betul mempunyai ‘inner beauty’ semangat jaman, jaman ketika pengetahuan akan memainkan peran pentingnya. Bukan yang membiakkan kebodohan atau ke-medioker-an. ‘Inner-beauty’ ini mestinya akan mewujud pada sebuah kegairahan. Kegairahan yang tulus sehingga akan nampak sebagai sebuah ‘kecantikan’ yang otentik. Bukan polesan, apalagi polesan yang serba norak. Kegairahan yang juga muncul bersamaan dengan kemampuan mawas diri. Mawas diri tidak hanya ketika berhadap dengan fakta di depan, tetapi juga cita-cita Republik yang ditandaskan saat Proklamasi.

Inner beauty’ bukanlah sesuatu yang instan yang tiba-tiba saja muncul ketika mendekati pemilihan, tetapi ia adalah jalan panjang. Jalan pintas norak hanya untuk kaum medioker saja. *** (31-8-2018)

Yang Milenial dan 'Inner Beauty'-nya

gallery/chopper