www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-8-2018

Prototipe di tangan spin-doctor bisa menjadi alat utama. Cukup dengan satu-dua biji prototipe mobil Esemka bertahun lalu misalnya, para spin-doctor itu tidak hanya menenggelamkan diskusi soal the-truth-behind-the-car, tetapi juga berhasil ‘menyihir’ banyak khalayak. Membuat ‘gerhana’ yang membutakan. Hasilnya? Seperti kita lihat bersama, ‘gerhana’ itu berkontribusi signifikan bagi elektabilitas Jokowi dalam proses pilgub DKI bertahun lalu.[*]

Ketika menjabat gubernur DKI, foto blusukan masuk got menghiasi banyak media. Dan blusukan lainnya, seakan perlahan merangkak menjadi sebuah prototipe laku seorang pemimpin yang joss-maknyos  ketika harus memahami masalah. Juga lihat berita soal satu kampung deret, yang juga menjadi sebuah prototipe yang dibesarkan, di-blow-up oleh para spin-doctor itu. Atau ketika foto membawa gitar ke KPK dalam konteks pelaporan gratifikasi, merebaknya foto di media seakan ingin mengatakan: inilah prototipe seorang pemimpin yang anti-korupsi. Dan masih banyaaak lagi, intinya adalah: ciptakan sesuatu yang kemudian dibuat sebagai semacam prototipe, blow-up, dan ..... tuai hasil panen.

Mengapa para spin-doctor itu begitu yakin akan hasil kerjanya? Salah satu adalah karena dukungan all-out dari media, khususnya media dalam modus man-to-mass dalam terminologi Alvin Toffler.[†] Mempunyai pengalaman lama sebagai ‘pendamping’ para diktator dunia, media massa modus man-to-mass ini tentunya punya ketrampilan tinggi juga dalam mendukung ‘ke-diktator-an’ para spin-doctor ini. Sebagai catatan, tentulah pengalaman atau kemampuan tersebut tidak semua (atau bahkan sebagian besar media di dunia ini) media akan mau menjalankan.

Yang kadang dilupakan adalah, bahwa bagaimanapun juga manusia itu adalah ‘binatang’ pembelajar yang sudah terbukti joss-maknyos mengalahkan telak binatang-binatang lain. Masyarakat pembelajar, learning society, apalagi ketika media modus man-to-mass sudah bukan satu-satunya media yang memonopoli ruang publik lagi. Ada modus mass-to-mass yang difasilitasi oleh dunia internet, dan terutama sekarang mewujud sebagai sosial media.

Repetitio mater studiorum est, pengulangan adalah ibu dari segala pembelajaran. Ketika siklus prototipe-blow-up-tuai hasil ini selalu diulang-ulang, maka khalayak-pun akan mempelajarinya. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln: “You can fool all the people some of time, and some of people all the time, but you cannot fool all the people all the time.” Pada awalnya, you can fool all the people some of time dan sebagian akan tertipu “all the time tetapi, sebagai masyarakat pembelajar, pastilah pada akhirnya “cannot fool all the people all the time”. Pada era ke-diktator-an abad XX, yang terakhir ini akan selalu diinjak kakinya. Sekarang? Tidak mungkin lagi! Dan dengan modus (terutama) komunikasi mass-to-mass, yang terakhir ini akan semakin membesar. Singkatnya, becik ketitik, olo ketoro. Serapi-rapinya bungkus, ke-‘plonga-plongo’-an tetaplah sering nongol juga.

Prototipe dari asal katanya memang dimaksudkan bertarung dalam ranah ‘first-impression’ –kesan pertama. Dalam ranah ‘gertak’. Bagi dunia bisnis, ‘first-impression’ jelas masalah yang teramat serius. Demikian juga sebenarnya di dunia politik. Tetapi ketika merasa pabrikasi opini ada di genggaman tangan, inilah saatnya menapak jalan keblinger. Menjadi asyik penuh percaya diri bermain ilusi. Ilusi dari asal katanya dekat dengan pengertian ludere, bermain. Sebagai Homo Ludens, manusia memang akrab dengan permainan, dan bahkan bermain itu tidak bisa dipisahkan dengan peradabannya. Tetapi ketika terlalu percaya diri, dan bahkan mulai menapak jalan mania, yang hadir bukan sekedar bermain lagi, tetapi semakin terasa sebagai mempermainkan. Merpermainkan khalayak karena begitu yakin dengan adanya dukungan media man-to-mass yang all out. Intinya: menjadi tidak tahu batas.

Sisi lain dari sebuah prototipe adalah sebuah ‘musibah’ yaitu ketika ternyata realisasi produk jauh dari harapan yang terbangun dari hadirnya sebuah prototipe. Kesan pertama yang dihadirkan oleh prototipe itu betul-betul cuma kesan pertama, dan selanjutnya adalah kejengkelan. Perlahan muncul perasaan tertipu. Dan ketika itu berulang dan berulang maka: repetitio mater studiorum est. Dan hasil pembelajaran-pun akhirnya bisa berujung pada satu kesimpulan, satu prototipe baru lahir sebagai ‘jembatan keledai’ penunjuk. Akhirnya, khalayak akan menunjuk jika ditanya siapa pemimpin yang suka-nya bohong? Bahkan kata kolega Jokowi saat menjabat walikota Solo seperti dikutip Muhamad Said Didu, mengistilahkan sebagai ‘pembohong berdarah dingin’. Siapa ‘pembohong berdarah dingin’ itu? Bagi banyak khalayak akan langsung menunjuk prototipenya, itu lho ......

Alexei Pushov seorang komentator televisi Rusia seperti dikutip Washington Post (30/8/1998) menggambarkan situasi Rusia era Yeltsin dengan gemas: “Rusia macam apa yang kami miliki?” Bagi kebanyakan warga Rusia, Yeltsin sudah dipandang sebagai simbol stagnasi dan frustasi ketimbang kemajuan.[‡] Duapuluh tahun kemudian, di Republik kita juga bisa bertanya sekarang: “Republik macam apa yang kami miliki?” Pertanyaan yang sangat layak diajukan ketika sebuah prototipe ‘pembohong berdarah dingin’ muncul terus menerus, hilir-mudik-naik-motor-berlagak-petinju, dan mendominasi ruang publik, dan bahkan ruang republik. *** (13-08-2018)

 

[‡] Simon Saragih, Bangkitnya Rusia, Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 39

Bumerang Prototipe

gallery/disgusted
gallery/bumerang