www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-7-2018

Ketika Joseph S. Nye Jr. -intelektual sentral teori ‘soft power’, bertanya kepada Donald Rumsfeld (Menteri Pertahanan AS 1975-1977, 2001-2006) tentang konsep ‘soft power’, Rumsfeld dengan singkat menjawab: “I don’t know what ‘soft power’ is.”[1] Pertanyaan Joseph Nye Jr. itu diajukan saat Rumsfeld menjabat Menteri Pertahanan AS yang kedua, yaitu ketika George W. Bush menjabat sebagai presiden.

Dalam Politics Among Nations (1948), Hans Morgenthau menegaskan bahwa ‘international politics, like all politics, is a struggle for power’.[2] Dan menurut E.H. Carr (1964), meski tidak dapat dipisah-pisahkan, power dapat dibedakan menjadi kekuatan militer, ekonomi, dan kekuatan atas opini. Carr berpendapat, kekuatan militer adalah yang terpenting dalam politik internasional. Carr menjelaskan bahwa ‘the supreme importance of the military instrument lies in the fact that the ultima ratio of power in international relations is war’.[3] Menjelang akhir abad 20, Toffler membedakan 3 kekuatan yang mirip dengan pembedaan Carr di atas, yaitu kekuatan kekerasan (violence), uang (wealth), dan pengetahuan (knowledge).[4] Toffler juga menjelaskan pergeseran (shift) dari ketiganya, dan menurutnya di abad 21, kekuatan pengetahuan-lah yang akan menjadi ujung tombak. Perang dagang yang sedang berlangsung sekarang antara AS dan China sebenarnya tidak jauh dari prediksi Toffler, di mana sebenarnya kekuatan pengetahuan (ngendon dalam produk semikonduktor dan hi-tech lainnya) menjadikan AS merasa di atas angin, tetapi berbagai ‘sandera’ yang bisa menghancurkan perekonomian dunia juga tidak lepas darinya. Dan bukankah karena kekuatan militer masing-masing, yang bersiap diri ketika ‘the ultima ratio of power in international relations’  adalah perang, membuat masing-masing merasa punya kekuatan gertak?

Di balik apa yang terjadi dalam perang dagang itu sebenarnya dengan sangat cerdas para founding fathers sudah mengantisipasi dengan menegaskan perintah konstitusi kepada pemerintah terpilih, ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah’, dan ‘memajukan kesejahteraan umum’.[5] Mereka melakukan perang dagang, membangun kemajuan di bidang pengetahuan dan produk-produknya, membangun kekuatan militer, untuk apa? Jelas, pertama-tama adalah untuk melindungi segenap bangsa mereka dan seluruh tumpah darah mereka. Dan yang kedua, mereka sedang mati-matian membela kesejahteraan bangsanya. Mungkin industri-industri mereka, tetapi jika industri mereka kolaps, bukankah kesejahteraan umum juga akan terancam?

Sejarah mencatat, kesejahteraan umum suatu bangsa tidak pernah terberikan secara gratis. Harus direbut. Dan untuk itulah, selain memperkuat di bidang lain, TNI harus kuat, karena ‘the ultima ratio of power in international relations is war’. *** (20-7-2018)

 

[1] Brian C. Schmidt, Realism and facets of power in international relations, dalam Felix Berenskoetter, M.J. Williams (ed), Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 62

[2] Ibid, hlm. 48

[3] Ibid, hlm. 49-50

[4] Lihat, Alvin Toffler, Power Shift, Bantam Books, 1990

[5] Lihat selengkapnya di Pembukaan UUD 1945, alinea 4

Mengapa TNI Harus Kuat

gallery/sudirman