www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-7-2018

Clifford W. Mills dalam buku Angela Merkel (2008) menggambarkan bagaimana Merkel -Kanselir Jerman yang berasal dari eks Jerman Timur, menghayati kekuasaan dijalankan di Jerman Timur waktu itu, dan mengambil pelajaran darinya. Mills menuliskan: “Her [Angela Merkel] years in East Germany taught her how powerful government could be, and she was determined to use that power to serve others and not to control them.[i] Mengapa Jerman Timur, dan semua negara komunis waktu itu, kekuasaan dijalankan lebih untuk mengontrol rakyat? Mungkin karena inginnya sama-rasa-sama-rata, tetapi hasrat menjadi kaya jelas tidak bisa dihilangkan, maka dikontrollah hasrat itu dengan hasrat lain yang dibuat lebih kuat, dan mewujud dalam ‘kekerasan’ negara.

Ignas Kleden dalam Kompas 22 tahun lalu, menulis kolom berdasarkan perbincangannya dengan seorang dosen Universitas Humboldt di tepi sungai Elbe, Jerman. Perbincangan adalah sekitar peralihan menjadi satu Jerman. Terkait sosialisme dan kapitalisme, dosen Universitas Humboldt yang menjadi lawan bincang Kleden –berasal dari Jerman Timur, seperti ditulis Ignas Kleden, berpendapat: “Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalisme itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain.[ii]

Faktor utama dalam kapitalisme adalah akumulasi yang batasnya adalah langit, the sky is the limit. Sedangkan dalam sosialisme, distribusi memegang peran kunci. Sejak pasca Perang Dunia II, negara kesejahteraan (welfare state) adalah semacam jalan tengah. Tetapi sejak akhir tahun 1970-an, kembali the sky is the limit melalui jalan neoliberalisme. Dan salah satu outcome yang dipotret Michael Piketty di awal abad 21, kesenjangan merebak seperti pada akhir abad 19. Yang sejarah kemudian telah mencatat, akhir abad 19 sampai pada bagian pertama abad 20, dunia bergejolak dengan korban manusia begitu banyaknya.

What is neoliberalism?” demikian Pierre Bourdieu mengawali tulisan di tahun 1998 dengan sebuah pertanyaan. Dijawab sendiri oleh Bourdieu: “a programme for destroying collective structures which may impede the pure market logic.”[iii] Maka tak heran jika kemudian negara sebagai salah satu collective structures seiring dengan merangkaknya neoliberalisme, konsep negara dikembangkan menuju ke konsep minimal state, dan bahkan ultra-minimal state. Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) mengintrodusir istilah double movement (gerakan ganda), ‘gerakan’ satu, berprinsip liberalisme ekonomi, bertujuan untuk menjalankan apa yang disebut sebagai self-regulating market, dengan pendukung utama kelas pedagang, dengan metode utamanya laissez-faire dan pasar bebas, sedang gerakan satunya bertujuan sebagai proteksi sosial dan berusaha melalui legislasi dan metode-metode intervensi lainnya.[iv] Maka apa yang dikatakan oleh Bourdieu di atas, sangat sesuai dengan apa yang diungkap Polanyi, 54 tahun sebelumnya. Jika ingin melaksanakan sepenuhnya ‘the pure market logic’ maka yang harus dihadapi adalah ‘gerakan-counter’-nya, dan kalau perlu laksanakan sebuah ‘programme for destroying collective structures’. Bagi Polanyi, gerakan untuk melindungi hidup bersama ini disebabkan juga karena lepas/tercerabutnya (disembedded) persoalan ekonomi dari problem masyarakat secara keseluruhan.

Dengan bantuan ‘peta hasrat’ dalam tripartit jiwa Platon[v] sebenarnya kita bisa lebih gamblang dalam melihat berbagai hal di atas. Hasrat untuk mengakumulasi tanpa batas, semestinya bisa terlawankan, atau di-rem dengan hasrat akan kebanggaan sebagai satu bangsa, misalnya. Dengan segala ketidak-sempurnaannya, lihatlah bagaimana dinamika menang-kalahnya Demokrat-Republik di AS. Republik yang ‘gas-penuh’ dan Demokrat dengan ‘rem-rem’ program sosialnya. Diramu dengan kebanggaan sebagai negara super-power. Dan rakyat yang tak habis-habisnya disibukkan pula dengan isu pembatasan kepemilikan senjata. Juga Jepang dengan ‘rekayasa negara’ terkait dengan jarak gaji tertinggi dan terendah bagi warga negara, dan juga ditambah dengan tetap berkembangnya patriotisme. Juga hasrat menggebu atas ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan Republik ketika akumulasi oleh komplotan oligarki-pemburu rente yang seakan tidak pernah terpuaskan itu? Dan bahkan sebagian dari mereka tidak akan sungkan lagi untuk menjual kedaulatan? Agere contra, itulah yang sudah, sedang, dan akan terus dimainkan. Sebagian dari itu kadang kita sebut ‘sandera kasus’. Maka yang kita butuhkan adalah banyak negarawan sejati. Yang hasrat akan negara-bangsanya mampu mengalahkan dorongan hasrat akan kekayaan, misalnya. Yang berani, tidak mudah digertak. Negarawan sejati, dan bukan yang sok negarawan, atau negarawan karbitan, apalagi ditambah dengan plonga-plongo ...... *** (18-7-2018)


[i] Clifford W. Mills, Angela Merkel, Chelsea House, New York, 2008, hlm. 20

[ii] Ignas Kleden, Sosialisme Dari Tepi Sungai Elbe, Kompas, 6 Juli 1996

[iii] Pierre Bourdieu, The Essence of Neoliberalism, Dec. 1998, https://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu

[iv] Karl Polanyi, The Great Transformation, Beacon Press, 2001, hlm. 138

[v] Lihat, https://www.pergerakankebangsaan.com/004-Dari-3G-ke-4G-Dari-4G-ke-5G/

Agere Contra (2)

gallery/spinoza