www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-01-2023

Apakah res-publika hanya bisa dan boleh dikelola oleh si-‘filsuf raja’? Tentu tidak, Platon-pun juga tidak berpendapat demikian. Kelas pedagang, kelas serdadu bisa saja naik ke puncak untuk mengelola res-publika. Hanya saja memang ‘syarat-syarat’-nya menjadi lebih berat bagi kelas pedagang maupun kelas serdadu untuk 'boleh' mengelola res-publika. Bagaimana tidak, kelas pedagang itu seumur-umur hidupnya ia akan sibuk dengan urusan ‘res-privata’, insting-nya sudah sedemikian berkembang dalam ranah ‘res-privata’ dan untuk melakukan ‘loncatan’ di ranah res-publika tentu tidak mudah. Sedang kelas serdadu seumur-umur ia ada di ranah yang lekat dengan ‘komando’. Tentu tidak mudah pula ia kemudian menimang res-publika dalam pelukannya. Akan gatal terus rasanya. Dan pastilah perlu upaya lebih untuk mengatasi rasa gatal itu.

Tetapi baik yang berasal dari kelas ‘filsuf-raja’, serdadu, maupun pedagang, bagi publik yang hidup dalam res-publika, bayang-bayang yang menakutkan adalah sama : soal ‘mania’. Ketika yang ngurus res-publika itu tiba-tiba saja menampakkan ‘bakat’ kegilaannya. Kegilaan yang dalam banyak catatan sejarah selalu melibatkan kegilaan para pendukungnya. Lingkaran ‘setan’ antara kegilaan pemimpin dan pendukungnya, seakan sudah seperti ‘dialektika tuan-budak’ yang semakin dalam terjerumus dalam ke-tidak-berpikiran. Gejolak hasrat akan kuasa dalam bermacam bentuk dan tingkatannya itu sudah terhayati sebagai ‘way of life’ yang penuh ‘makna’. Jika kuasa menjadi menjauh seakan hidup menjadi tidak bermakna lagi. Bagi kebanyakan ‘wong-cilik’, inilah salah satu pintu-masuk untuk tertipu berkali-kali. Seakan merasakan diri ikut berkuasa tetapi faktanya hidup sehari-hari tidaklah beranjak membaik. Melarat dan hidup susah seperti bayang-bayang yang terus saja mengikuti. Kuasa sudah seperti candu saja.

Dalam pendidikan-nya Platon, mempersiapkan seorang ‘filsuf raja’ akan menapak jalan panjangnya. Ketrampilan atau ilmu dialektika, atau dalam hal ini ilmu berdebat misalnya, akan diajarkan pada bagian akhir pendidikan, setelah lebih dari sepuluh tahun dididik. Tidak mengherankan pula karena saat itu di depan Platon sudah begitu merebaknya kaum Sofis. Kaum Sofis yang banyak diantaranya sungguh tangguh dalam berdebat, dalam berargumen.

Maka ini bisa-bisa lebih dari sekedar ‘minus malum’. Tetapi juga bagaimana gejolak hasrat itu dikendalikan. Bagaimana kegilaan kuasa itu bisa dihindarkan. Sayangnya banyak sumber mencatat bahwa hanya mengandalkan pada ‘orang baik’ itu jelas tidak cukup. Mengandalkan kualitas diri dalam urusan kuasa itu sangat tidak cukup. Memang untuk jatuh dalam kegilaan kuasa, kelas pedagang dan kelas serdadu itu lebih besar potensinya dibanding kelas ‘filsuf-raja’. Tetapi tetaplah semua mempunyai potensi untuk jatuh dalam kegilaan. Dari 3 kekuatan militer terkuat, kita bisa belajar-meraba bagaimana kegilaan berpotensi merengkuh pemimpinnya, yaitu saat si-pedagang Trump jadi presiden AS, dan serdadu di Rusia serta si-‘filsuf raja’ di China. Dan jika memakai ‘logika medis’, dari manakah port de entry virus kegilaan ini? Nampaknya adalah kekuatan kekerasan dan kekuatan pengetahuan -senjata pengetahuan paling tua: tipu muslihat. Kegilaan yang akan semakin membesar potensinya ketika kekuatan kekerasan dan tipu muslihat itu sudah digunakan dengan tanpa beban lagi.

Maka tak mengherankan lagi jika Trump dengan tanpa sungkan-sungkan mengajak foto bareng dengan panglima tertinggi angkatan perangnya, untuk konsumsi publik. Untung saja panglima tersebut masih mampu dan mau menempatkan diri, dan sehari kemudian memberikan klarifikasi. Dalam salah satu wawancara di televisi, ada yang seumur-umur ia republikan sejati, dan menggambarkan Partai Republik era Trump ini adalah era baru. Ia mendiskripsikan diri sebagai republikan lama. Yang nampaknya tidak terlalu nyaman dengan republikan baru era Trump. Yang cenderung ‘brangasan’ dan menghalalkan segala cara. Tak jauh dari era DKI pasca Anies. *** (15-01-2023)

Saat Kelas Pedagang Mengelola Res-publika