www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-12-2022

Atau dalam praktek sebenarnya yang ada adalah ‘obyek pajak’? Ataukah orang tanpa otak, warga-negara dianggap kumpulan orang tanpa otak? Atau bahkan dianggap tidak ada, selain nomer satu di atas : hanya kumpulan ‘obyek pajak’ semata? Atau bahkan hanya sebatas para ‘abdi’ saja atau bahkan ‘jongos total’[1], komplit dengan wajib bayar upeti-nya? Berlebihan? Coba lihat soal drama atau apapun mau disebut, KPU yang ada di ranah negara itu, Ketua KPU-nya terseret isu pelecehan seksual, yang kita tahu dari pemberitaan juga terkait dengan fungsi sebagai anggota KPU yang terhormat, soal verifikasi partai peserta pemilu. Betapa vulgar-nya ‘wacana’ itu masuk di ruang-ruang publik. Dan bagaimana dengan ‘enteng’-nya si-‘wanita emas’ itu kemudian yang justru minta maaf, dalam hitungan hari. Mungkin ada yang berpikir, soal isu-isu biar waktu akan ‘menyelesaikan’, tetapi ‘lakon’ seperti itukah warga-negara ‘dipaksa’ untuk ‘menikmati’-nya? Berulang dan berulang dalam bentuk dan ‘lakon’ yang berbeda. Yang munculnya justru dari ranah negara. Belum lagi soal isu intimidasi anggota KPU Pusat ke KPU Daerah, juga terkait verifikasi partai peserta pemilu. Dan dengan enteng-nya dijawab bahwa itu adalah jokes saja. Guyonan baé, Cuk. Si-anggota KPU yang terhormat dan yang ada di ranah negara itu ternyata tidak paham soal seluk-beluk power di tangan! Apakah dua ‘drama’ dengan ujung tetap bercokolnya ke-dua Anggota KPU Pusat itu adalah bagian dari ‘gertakan’ pada ‘lawan politik’ bahwa KPU sudah di tangan melalui rute ‘sandera kasus’? Pemilihan 2019 lalu memberikan pelajaran bagi kita bagaimana tiba-tiba saja foto bersama dengan ‘orang-ke-tiga’ itu menyeruak ke permukaan dan membuat ‘gejolak-panas’-nya soal data pemilih menjadi perlahan melandai. Lupa bagaimana ‘berdarah-darah’-nya ‘arus bawah’ yang membantu verifikasi data pemilih ini.

Masih adakah warga negara dalam judul dimaksudkan adalah mempertanyakan pertanggungjawaban kebijakan, polah-tingkah, perilaku yang ada di ranah negara itu kepada warganya, warga-negara. Bukan dalam waktu-formalnya, tapi dalam keseharian waktu yang dihayati oleh warga. Jika pemangku-kepentingan, stake-holders di ranah negara itu berlaku semau-maunya, berulang dan berulang, maka sebenarnya mereka sedang tidak menganggap ada itu warganya, warga-negara. Terlalu banyak hal remeh-remeh yang dimainken di depan warga. Dari laku gegayaan sok-sok-an, sampai omong kosong yang diulang-ulang terus. Dan bermacam lagi. Tanpa-beban lagi ketika berhadapan dengan warga-negaranya.

Pada titik tertentu aksi-aksi yang semau-maunya terhadap warga negara itu akan mendapatkan reaksinya. Kemuakan warga-negara bertahun-tahun dianggap tidak ada oleh para pemangku-kepentingan di ranah negara itu pada titik tertentu akan memberikan reaksi yang bahkan bisa juga tak terbayangkan sebelumya. Bermacam hal bisa menjadi ‘katalis’-nya. Salah-duanya adalah penampahan periode jabatan atau penambahan masa jabatan presiden. Kita lihat, bagaimana sejarah republik ini akan dibawa. Dan saran bijak dari nun jauh di sana, mempersiapkan hal terburuk tidaklah akan sia-sia. Meski kita selalu berharap hal terburuk itu tidaklah mewujud. Perang Ukraina akibat invasi Rusia itu jelas memberikan banyak pelajaran. *** (30-12-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebangsa

an.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/

Masih Adakah Warga-negara?