www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-12-2022

Pemimpin àla penikmat hirarki sebenarnya adalah khas feodalisme. Tetapi bisa juga sebenarnya karena kurang percaya diri. Atau juga bibit-bibit megalomania yang sudah mulai tumbuh-berkembang dengan liarnya. Atau sebenarnya boneka yang sedang dimainken oleh para dalangnya. Maka lakonnyapun bisa macam-macam. Atau karena sandera kasus, atau memang pada dasarnya plonga-plongo saja sehingga jadilah ia : boneka. Macam-macam penampakan dari kemungkinan hal-hal di atas, salah satunya adalah bagaimana ia begitu menikmatinya ketika ada di tengah-tengah kerumunan. Bukan saja saat berupaya merebut hegemonia, tetapi terutama bahkan setelah arche di tangan. Saat rentang waktu sudah masuk dalam ‘masa penggunaan kekekuasaan’.

Atau ketika berita-berita disesaki oleh kemungkinan pergantian-ulang menteri maka penampakan wajahnya-pun kemudian berseri-seri karena soal siapa jadi menteri sepenuhnya memang ada di tangannya –menurut undang-undang. Berseri-seri karena seakan sedang menegaskan-ulang siapa yang ada di hirarki tertinggi itu. “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian Carl Schmitt hampir 100 tahun lalu. Dan ada ‘situasi darurat’ sehingga harus ganti menteri, dan berseri-serilah dia karena tiba-tiba saja ada kesempatan untuk menjadi ‘yang berdaulat’. Paling tidak nampak ‘berdaulat’ di depan khalayak. Seperti siklus krisis (‘kondratiev’) dalam kapitalisme yang sering perlu ‘sesuatu’ untuk merangkak ‘naik’ lagi, penggunaan hak prerogatif itu digunakan secara berkala untuk lebih merawat hirarki. Maka kadang ‘drama’ pergantian menteri inipun sedapat mungkin ‘dipanjang-panjangkan’ dalam wacana-publiknya, supaya semakin ‘merasuk’ lagi siapa yang sebenarnya berdaulat itu.

 Atau bayangkan apa yang ada di kepala si-pemimpin ketika ia lempar-lempar bingkisan pada rakyat melalui jendela mobil yang berjalan pelan. Meski laku tersebut telah dikritik atau disindir oleh banyak pihak, tetap saja diulang lagi. Seakan mau bilang : “Loe siapa, gué siapa!” Atau drama-drama histeris dari satu-dua orang seakan sedang bertemu orang dengan hirarki tertinggi. Atau juga terlalu banyak laku penjilatan dari orang-orang sekitar yang seakan memang dinampakkan pada publik. Intinya adalah, terlalu banyak keringat yang menetes demi gemerlapnya ke-hirarkian itu. Apa yang sebenarnya terjadi ketika pemimpin terlalu sibuk merawat ke-hirarkiannya? Cermin, cermin, katakanlah siapa yang ada di hirarki tertinggi, demikian mungkin litani hariannya. Maka yang nampak paling besar di depannya adalah fakta-fakta potensial yang ada dalam dirinya lebih dahulu, bukan fakta-fakta potensial yang ada di republik beserta segala isinya. Sama sekali tidak ada patriotisme di sini.

Buta-rabun potensi republik tentu akan mendatangkan reaksi, bermacam reaksi. Maka tidak mengherankan pula pemimpin àla penikmat hirarki ini pada waktunya akan menerbitkan pasal-pasal penghinaan pejabat yang segera saja dikeluarkan dari saku baju dan celananya. Padahal dengan segala ketidak-seimbangan power[1], penguasa itu memang semestinya selalu dikritik, selalu di-check-balances. Bukan masalah personal, tetapi melihat apa-apa yang sedang dipertaruhkan. Bahkan ketika rabun potensi republik itupun baru menampakkan gejala ringannya. Tidak ada soal benci-benci-an personal. Ini adalah masalah ke-publikan dimana yang sedang dipertaruhkan memang sungguh besar. Sungguh tidak kecil dari segi apapun. *** (27-12-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebangsa

an.com/1039-Ketidak-seimbangan/

Pergeseran Dari Hegemonia ke Arche Itu (5)