www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-12-2022

Dalam ranah kuasa negara berdasarkan hukum, ‘perfect obligations’-nya pemegang kuasa sudah jelas ada dalam bermacam undang-undang dan peraturan. Untuk ‘imperfect obligations’, contoh salah satunya adalah bagaimana ia menepati janji-janji kampanyenya. Amartya Sen dalam The Idea of Justice mencontohkan ‘imperfect obligations’ adalah ketika seseorang dirampok dan kita melihat perampokan itu tetapi tidak melakukan apa-apa, padahal saat itu kita mampu melakukan sesuatu, paling tidak menelpon aparat keamanan misalnya. Atau membunyikan kentongan jika kita bisa menggapainya. Saat itu sebenarnya kita mengemban juga ‘imperfect obligations’. Jika toh kita tidak melakukan apa-apa meski kita bisa, kita juga tidak akan dihukum karenanya. Mungkin sangsi sosial akan didapat, tetapi tidak penjara. Maka dalam ‘imperfect obligations’ itu bisa kita bayangkan soal pilihan, sedang dalam ‘perfect obligations’ pilihan kita tidak lain adalah melaksanakan apa-apa yang sudah ditetapkan itu. Terutama penetapan yang berimplikasi pada soal hukum. Atau konsekuensi lainnya jika kita gagal dalam melaksanakannya. Dalam perusahaan misalnya, tugas dan wewenang kita seperti apa? Jika gagal dalam pelaksanaannya bisa-bisa berujung pada pemecatan.

Dalam ranah kuasa negara, soal ‘imperfect obligations’ ini bisa kita bayangkan ‘sedikit melebar’, yaitu tidak hanya soal ‘melakukan sesuatu’ tetapi juga untuk ‘tidak melakukan sesuatu’. Bagi ‘rakyat biasa’, glècènan saat ngobrol soal ekonomi tidaklah masalah, tetapi bagi pejabat publik sebaiknya tidak melakukan itu : glècènan saat menjelaskan hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Empan-papan, tahu waktu tahu tempat bagi pejabat publik bisa menjadi sangat penting tidak hanya soal konsekuensinya, tetapi terlebih karena ‘atmosfer’ kuasa yang ada di tangan itu. Ranah kuasa negara yang mempunyai ‘logika’-nya sendiri. Maka dongeng HC. Andersen itu adalah Emperor’s New Clothes, bukan petani, pedagang atau dosen.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari dongeng HC. Andersen, The Emperor’s New Clothes? Jika dilihat dari soal ‘merebut kuasa’ dan ‘menggunakan kuasa’? Tetapi bagaimanapun juga dongeng itu adalah soal ‘menggunakan kekuasaan’, soal ketika hegemonia sudah ‘berubah’ menjadi arche. Atau tegasnya, saat ‘ke-hirarki-an’ sudah menjadi nyata. Ke-hirarki-an yang ‘sihir’-nya bisa-bisa memberikan outcome tak terduga bagi kebanyakan orang yang sejatinya juga sangat berhasrat akan kuasa. Mungkin banyak benarnya juga pendapat Mangunwijaya, bahwa “sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan” (“Kini Kita Semua Perantau”, 1989).[i]

Maka kata kunci-nya adalah ‘mengendalikan kekuasaan’. Mengendalikan hasrat akan kuasa, terlebih ketika ke-hirarki-an sudah melekat erat, ketika sudah ‘duduk di singgasana’. Imperfect obligations pada dasarnya bisa dilihat sebagai ‘uji kualitas’, terutama dari sisi ‘sebaiknya itu jangan dilakukan’. Tetapi ada juga yang ‘kebablasan’ demi menggapai popularitas, misal tiba-tiba saja ‘turun ke jalan’ ikut-ikutan ngatur lalu-lintas. Atau laku-laku lain yang justru khalayak akan mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Imperfect obligations adalah soal pilihan-pilihan yang memang akan sangat dipengaruhi oleh situasi yang ada, tetapi apapun situasinya bagi si-pemegang kuasa, atmosfer kuasa itu sendiri sebenarnya harus disadari sudah juga menjadi bagian penting dari situasi. Di sini kita akan juga berhadapan dengan ‘sifat, watak, wajah, dan suasana kuasa di tangan pemimpin yang ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas pemimpin itu dalam mengendalikan kuasa di tangan’. Maka dari bermacam praktek imperfect obligations-nya kita bisa meraba apakah pemimpin itu sebenarnya punya keutamaan atau tidak. Dan dari tebal-tipisnya keutamaan itulah kita bisa mulai membaca bagaimana perfect obligations akan dijalankan. Bukan rumus pasti memang, tetapi memang ini soal bagaimana sesuatu itu dihayati. *** (24-12-2022)

 

[i] Y.B. Mangnwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302

Pergeseran Dari Hegemonia ke Arche Itu (4)