www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-12-2022

Apakah hidup yang bermakna itu sama dengan hidup ber-identitas? Apakah identitas bisa menjadi bagian dari hidup yang bermakna? Mengapa tidak? Bahkan Manuel Castells dalam triloginya di ujung abad 20 terkait dengan merebaknya Revolusi Informasi menyebut bahwa identitas bisa-bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna hidup di era yang serba cepat ini. Tetapi Castells tidak pernah menyebut bahwa identitas merupakan satu-satunya dimana makna hidup bisa ditemukan. Tidak, dan memang identitas semestinya bukanlah tempat satu-satunya makna hidup dicari.

Apakah identitas sebagai sama-sama manusianya masih belum cukup? ‘Kemanusiaan’ sebagai identitas belum cukup? Identitas dalam nuansa ‘generik’-nya, jika memakai istilah dunia obat-obatan. Kadang-kadang memang perlu yang ‘merek-brand’ tertentu, tetapi sekali lagi apakah identitas dalam nuansa ‘generik’-nya tidak mungkin? Bukankah ketika bencana melanda secara instingtif kita tidak pernah menanyakan soal identitas saat menolong sesama? Bahkan jika itu binatang-pun kita akan tergerak untuk menolongnya. Maka bisa dikatakan identitas paling dalam yang ada jauh di dalam lubuk hati itu adalah sama-sama manusianya. Identitas sendiri dari asal katanya tak jauh dari kata idem: sama. Kemanusiaan yang bahkan dari perjalanan evolusinya sangat mungkin tidak banyak perbedaannya. Peraih Nobel bidang medis tahun 2022 telah menunjukkan soal ini.

Maka pertanyaan dasarnya adalah soal hidup-bermakna, bukan hidup-beridentitas. Dan seperti disinggung Manuel Castells yang mensinyalir soal identitas bisa-bisa sebagai sumber utama dalam pencarian makna hidup dalam dunia yang serba cepat ini tetaplah itu menunjukkan bahwa identitas bukanlah satu-satunya sumber makna hidup. Dan nampaknya identitas yang dimaksud Castells itu adalah identitas dalam nuansa ‘merek-branded’-nya, bukan yang ‘generik’. Dan bahkan sebenarnya tidak hanya di dunia yang serba semakin cepat saja identitas menjadi sumber makna, tetapi sudah sejak jaman dulu sekali. Castells hanya menandaskan bahwa itu bisa semakin membesar di Abad Informasi ini. Maka ada tantangan besar di era serba cepat ini, bagaimana bisa memberikan ruang dan waktu bagi yang mencari makna-hidupnya tidak dalam ‘jerat’ identitas ‘merek-branded’ semata?

Bagi Viktor Frankl –penyintas holocaust, makna hidup bisa dicari dalam cinta, pekerjaan, dan ‘jalan sulit yang sedang ditapak’. Bukan soal ‘workaholics’ atau ‘gila kerja’, tetapi dalam kesungguhan bekerja dalam bidangnya itu memang sebagian dari kita bisa sungguh menemukan makna-hidupnya. Bagi sebagian orang mungkin merasa aneh mengapa orang yang sibuk dalam riset misalnya, ia tetaplah bisa bahagia dan seakan ‘menikmati hidup’-nya. Tetapi jangan-jangan memang ia menemukan makna-hidupnya di jalan riset itu? Dan dengan itu pula ia dengan penuh kegairahan menjalani bidangnya dengan sungguh-sungguh. ‘Ke-penasaran’ yang tidak habis-habisnya itu telah menjadi pendorong utama dalam perjalanan hidupnya. Apakah ia tidak punya identitas? Mungkin dalam lubuk hati terdalamnya ia sudah akan merasakan senang jika hasil risetnya akan dinikmati oleh banyak orang. Ia berangkat dari identitas dalam nuansa ‘generik’-nya. Tetapi bagaimana jika ‘atmosfer’ tempat ia kerja jauh dari nuansa meritokrasi, misalnya. Atau kita juga kenal istilah burnout syndrome itu? Maka bisa-bisa kemungkinan mencari makna dalam pekerjaan-pun bisa-bisa serasa sedang dirampas. Atau ketika petani sedang menempuh-jalan sulit dengan segala kerja kerasnya, tiba-tiba menjelang panen ada yang ugal-ugalan impor dan membuat harga jatuh? Atau yang begitu mencintai olah raga, sport, sepak-bola misalnya[1], ternyata kompetisi menjadi begitu amburadulnya oleh polah-tingkah para bandar judi? Dan apa yang akan terjadi jika beracam ‘klaster-klaster makna’ itu banyak yang sudah terampas? Akankah sinyalir Manuel Castells di atas akan semakin kencang? *** (09-12-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/1046-Kita-dan-Piala-Dunia/

Makna-makna Yang Dirampas