www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-11-2022

Di belakang survival of the fittest memang ada ketidak-seimbangan. Dalam dunia binatang maka yang kuat akan mempunyai potensi lebih untuk berkembang. Jika faktor utama yang membedakan manusia dan binatang, hal timbang-menimbang dihilangkan, memang hidup bersama akan benar-benar serasa masuk dalam paradigma survival of the fittest. Maka dapat dilihat para pendukung die hard paradigma ini akan mempunyai kecenderungan kuat untuk meminggirkan masalah etika. Etika kemudian lebih dihayati pada etikanya yang kuat. Yang sudah ‘teruji lama’ sebagai si-kuat dan kemudian menciptakan bermacam ‘tradisi’. Tetapi survival of the fittest sebenarnya tidak berhenti pada siapa kuat akan bertahan, lebih dari itu adalah soal adaptasi. Lebih kuat bisa juga berarti lebih tahan atau lebih ‘cerdas’ dalam meniti lika-liku adaptasi. Contoh bagaimana T-Rex yang sempat menduduki puncak rantai makanan itu musnah juga.

Zona Goldilock planet-planet, bumi misalnya, ia menjadi laik dihuni bermacam kehidupan karena ada di zona tidak terlalu dekat dengan matahari sehingga menjadi terlalu panas, dan tidak terlalu jauh sehingga tidak terlalu dingin. Tetapi nampaknya itu barulah ‘syarat mutlak’ bagi kehidupan, perlu syarat lain sehingga kehidupan berkembang, atau kalau memakai istilah fisika, adanya partikel dan anti-partikel itu adalah sebuah ‘keseimbangan’, tetapi ketika ada suatu ‘gangguan’ maka dinamika partikel-anti-partikel itu bisa menghasilkan sesuatu yang lain. Bermacam ‘gangguan’ ini bisa berakibat mendorong berkembangnya kehidupan, tetapi juga bisa ‘mengurangi’, contoh gangguan pada manusia yang sudah menapak evolusi jutaan tahun itu, misal gangguan yang justru memprovokasi berkembangnya sel-sel kanker. Atau kelainan-kelainan bawaan.

Rejim bisa kita hayati juga sebagai zona Goldilock dalam hidup bersama manusia. Jika Nietzsche benar bahwa hasrat akan kuasa merupakan driving force utama manusia, maka diperlukan ‘tata-kelola’ tertentu sehingga seliweran hasrat kuasa itu tidak menjadi menghancurkan hidup bersama. Dalam masanya, seliweran hasrat kuasa itu seakan mendapatkan zona Goldilocknya dalam bentuk rejim monarki. Bukan panasnya matahari yang menentukan rentang zona Goldilock itu, tetapi adalah ‘sihir’ yang mampu menjinakkan semrawutnya hasrat kuasa. ‘Sihir’ yang terpancar kuat dalam diri si-mono. Demikian juga dalam rejim aristokrasi, ‘sihir’ karena mereka adalah yang terpilih, yang ‘terbaik’. Ketika ‘sihir-sihir’ itu retak, dan rejim demokrasi naik maka soal mau ditanya dan wajib menjawab-lah rejim demokrasi menemukan zona Goldilock-nya. Ketidak-seimbangan kuasa itu bisa diterima bukan karena ‘sihir’, tetapi karena ada pertanggung-jawaban kepada yang memberikan kuasa, demos-rakyat. Maka dalam rejim demokrasi, penguasa yang diberi mandat oleh rakyat itu akan berpikir tiga-lima kali sebelum memutuskan siapa-siapa yang akan ditampilkan pada publik untuk memberikan jawaban, untuk menjelaskan, atau menerima pertanyaan pada rakyat, terutama dalam forum diskusi atau juga jumpa pers. Atau di depan wakil rakyat. Karena soal tanggung-jawab inilah kuasa dimungkinkan diganti atau dicabut.

Bagaimana jika rakyat si-pemberi kuasa justru sering dihadapkan pada figur-figur pilihan si-‘mandataris’ yang ujarnya sungguh berkali-kali di bawah standar kepatutan? Atau perilaku-bahasa-tubuhnya sungguh menjengkelkan? Atau memilih pembantu-pembantunya tidak pada orang-orang terbaik di bidangnya? Atau orang-orang sekitar begitu demennya asal njeplak, asal mangap? Atau rakyat si-pemberi kuasa justru dibanjiri ujar-tipu-tipu?

Sekitar 50 tahun lalu Hofstede melakukan penelitian tentang persepsi orang-orang terhadap tidak meratanya distribusi otoritas atau kuasa. Yang kemudian memunculkan istilah ‘power distance’ itu dan menampakkan bahwa komunitas dengan power distance rendah maka komunitas itu bisa-bisa tanpa sungkan-sungkan mempertanyakan bermacam kebijakan yang dilakukan oleh otoritas lebih tinggi. Tetapi pada komunitas dengan power distance tinggi, perbedaan distribusi kuasa lebih bisa diterima. Yang ‘di bawah’ akan cenderung oke-oke saja terhadap apa-apa yang diputuskan oleh otoritas di atasnya. Tentu para penggemar Marx tidak akan langsung setuju dengan pendapat Hofstede di atas, sebab bagaimanapun ‘persepsi terhadap kuasa’ itu ada di ‘bangunan atas’, dan apa-apa yang ada di bangunan atas itu akan sangat dipengaruhi oleh apa-apa yang terjadi di ‘basis’, pada dinamika relasi-relasi kekuatan produksi. Tetapi bagaimana jika ‘basis’ itu juga soal dinamika relasi-relasi ‘produksi kuasa’? Hasrat akan kuasa yang menurut Nietzsche akan selalu lekat-erat dengan hidup manusia dan bahkan menurut Hobbes, akan dibawa sampai ajal menjemput? Yang membuat juga buruh di satu negara akan berperang melawan buruh dari negara lain? Marx benar soal ‘basis’ akan sangat menentukan ‘bangunan atas’, tetapi kaum ‘over-deterministik’ salah besar jika menyingkirkan kemungkinan ‘bangunan atas’ dapat juga mempengaruhi bagaimana kekayaan itu dibagi.

Kira-kira 4 tahun sebelum Hofstede mulai penelitian soal power distance di berbagai cabang IBM, seorang filsuf yang sekaligus rabbi Yahudi, Abraham Heschel, dalam Who Is Man? menuliskan bahwa ‘teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi dari bintang tersebut, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah eksistensinya’. Dan bagaimana ketika satu komunitas di-‘teori’-kan mempunyai power distance tinggi? Akankah yang punya ‘bakat’ otoriter itu akan ngiler habis-habisan? Bahkan ketika ia naik ke kekuasaan dengan jalan demokratis, ngiler-nya untuk menjadi otoriter-pun bisa-bisa tidak hilang-hilang pula. Banyak contoh seperti dikatakan oleh Machiavelli, soal merebut kuasa itu bisa berbeda dengan saat menggunakan kuasa. Indikasinya cukup banyak, tetapi gambar-besarnya adalah segala pengingkaran soal pertanggung-jawaban pada rakyat yang memilih. Semau-maunya. Dan itu sebenarnya menunjukkan bagaimana rejim sedang digeser ke ‘zona Goldilock’-nya rejim mono-arki. ‘Sihir’ yang maunya menjadi logika utama, bukan pertanggung-jawaban. Bahkan menyediakan bagi khalayak ‘yang terbaik’ (di bidangnya)-pun rasa-rasanya berat. Power-distance tinggi itupun kemudian berubah menjadi asumsi bahwa rakyat itu bodoh semua. Selain itu, karena nuansanya semakin lekat dengan mono-arki maka penghayatan ‘the King is law’ juga semakin kental. Seakan urusan ranah negara itu kemudian dihayati sebagai ranah pribadi pula. Repot. *** (22-11-2022)

 

 

Ketidak-seimbangan