www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-11-2022

Mania, kegilaan, merupakan salah satu ‘tema tersembunyi’ yang bisa ditemukan dalam banyak sejarah ditulis. Kegilaan hasrat itu telah banyak menorehkan sejarah kelam. Bermacam upaya telah diupayakan manusia dalam hidup bersamanya untuk meminimalkan kegilaan hasrat supaya tidak muncul sebagai yang dominan. Terutama bagi yang sedang pegang kuasa. Mulai dari mengandalkan kualitas diri sampai dengan upaya hasrat ditabrakkan dengan hasrat lainnya. Jika mengikuti Platon maka kita bisa membedakan hasrat yang ngendon di ‘kepala’, ‘dada’, dan ‘perut ke bawah’. Hasrat akan pengetahuan, kebanggaan, serta hasrat akan makan, seks, dan terutama hasrat akan uang, kekayaan. Ketiga ‘jenis’ hasrat di atas jelas bisa dikendalikan –meski tidak mudah, tetapi jelas juga tidak mungkinlah untuk dihilangkan. Termasuk juga potensi untuk jatuh pada kegilaannya, mania. Hasrat akan uang terlalu banyak contoh bentuk kegilaannya. Bombardir misil ke infrastruktur energi Ukraina oleh Rusia berminggu terakhir sudah mengarah pada kegilaan hasrat akan kebanggaan yang memang sangat dekat dengan kekerasan itu. Atau para ‘spin-doctor’ itu selangkah lagi sudah sampai pada kegilaannya ketika tidak tahu kapan harus berhenti –‘spin mania’.

Semua kegilaan itu ujungnya adalah kekerasan. Baik kekerasan telanjang seperti ditunjukkan invasi Rusia ke Ukraina itu, atau juga seperti beberapa waktu lalu di Wadas Purworejo. Dan juga bertahun-tahun di tanah Papua sana. Juga di tempat-tempat lain, terlalu banyak contoh. Kegilaan hasrat menumpuk harta itu akhirnya melahirkan kegilaan lain. Kegilaan para ‘spin-doctor’ itu juga ujungnya adalah kekerasan, ketika bermacam potensi untuk menguak kebenaran seakan selalu dihadapkan pada dinding tebal. Masalahnya adalah sering kegilaan itu mendapatkan atau bahkan mencari pembenarannya, ada ‘legitimasi’-nya yang entah mlipir-mlipir melalui bermacam rute. Bahkan bisa-bisa juga dengan bangunan teori yang ketat. Tidak hanya soal legitimasi, tetapi juga tak jarang pula melahirkan pengikut-pengikutnya. Kegilaan yang tidak hanya melahirkan kegilaan lainnya, tetapi juga punya daya-tular dahsyat juga. Atau lihat misalnya, bahkan kadang penderita waham-pun bisa-bisa punya pengikut setianya.

Dalam ilmu syaraf kita mengenal apa yang disebut sebagai mirror-neuron. Meski masih menjadi perdebatan tetapi kita bisa membayangkan mungkin saja ini bisa mendorong kebanyakan orang untuk menjadi pengikut. Dalam ilmu fisika dikenal adanya partikel dan ‘pasangannya’, anti-partikel. Penelitian dalam bidang ini terus berlangsung terutama untuk partikel-partikel ‘super-kecil’. Atau dalam Gereja Katolik dalam proses penetapan seseorang menjadi santo atau santa oleh Paus, ia akan melibatkan pula si-advocatus diaboli, atau yang sering kita dengar sebagai devil advocate. Advocatus diaboli ini akan memberikan argumentasi kontra terhadap apa-apa yang disampaikan oleh si-advocatus dei. Yang mau disampaikan di sini adalah, apapun bentuk kegilaan itu, ia tidak hadir di ruang kosong. Kegilaan sebagai potensi bawaan akan menjadi fakta faktual ketika tidak ada ‘lawan’ sebandingnya. Apakah kegilaan itu hanya akan berhenti ketika dihadapkan pada kegilaan lainnya, seperti jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki itu? Ataukah sebelum kegilaan itu menjadi fakta faktual, bisakah kita mengupayakan kendalinya?

Kegilaan di ranah ‘publik’ semestinya punya akar di ranah ‘privat’. Bahkan ‘kegilaan massal’-pun sebenarnya punya akar dalam diri individu, paling tidak jika kita mengikuti pendapat Hermann Broch soal kesadaran temaram itu, twilight state. Jika bermacam kegilaan itu bisa dilihat akan berdampak-lekat pada peradaban maka kita bisa juga memakai pendapat Arnold J. Toynbee tentang bagaimana peradaban akan berkembang (atau hancur), yaitu tidak lepas dari tantangan dan respon. Tantangan terlalu besar akan menghancurkan peradaban, tantangan yang terlalu kecil hanya berdampak kecil juga bagi berkembangnya peradaban. Kalau pendapat Toynbee di atas bisa kita lihat sebagai ‘hal makro’, maka dalam ‘hal mikro’ juga terjadi hal yang mirip-mirip, jika kita bicara soal keutamaan, virtues –‘peradaban’ dalam ‘level’ individunya. Keutamaan keberanian misalnya, tidak terus lari di tengah kerumunan dan kemudian ‘waton suloyo’ meledakkan diri dengan bom ransel misalnya. Atau terus saja berdiri di sudut tertutup tanpa mau berbuat: pengecut. Keutamaan memang seakan ‘di tengah’ dan itu ‘dituntun’ oleh hal timbang-menimbang, jadi bukan semata ‘insting’ saja. Maka di ‘level mikro’, kegilaan jelas akan menjauhkan kualitas diri dari bermacam keutamaan. Di ‘level makro’, kegilaan akan mengaburkan tantangan yang sungguh dihadapi oleh hidup bersama. ‘Kegilaan privat’ ini kemudian dengan bermacam caranya berusaha ‘mempublikkan diri’, dan bisa-bisa memang seakan kemudian mewujud sebagai ‘kegilaan publik’. Hasilnya adalah ‘publik’ yang sungguh jauh dari pemahaman apa yang sebenarnya menjadi tantangan bersama. Tantangan yang dalam responnya ikut mengembangkan peradaban. Bagaimana dengan ‘ideologi’? Relevan atau tidak adanya ideologi sebenarnya juga tak lepas dari tantangan dan respon ini. Ideologi hanya akan relevan jika ia mampu membangun respon dengan tepat terhadap tantangan-tantangan yang berkembang. Ideologi-pun akan berkembang pula jika ia tidak hanya mengambil tantangan yang ‘ècèk-ècèk’. Bagaimana jika ternyata ideologi gagal membangun respon terhadap tantangan-tantangan yang tidak ‘ècèk-ècèk’? Ada dua hal yang mungkin berkembang, pertama yaitu ‘menggilanya’ laku sok-sok-an, gegayaan, pencitraan murahan yang selalu diulang-ulang, dan termasuk di sini adalah berkembang pula ‘spin-mania’ itu. Karena yang dihadapkan adalah tantangan ‘ècèk-ècèk’ maka bermacam hal di atas bisa dirangkum dalam satu ‘kegilaan’: kegilaan akan ‘jalan gampang’. Peradaban seperti apa yang akan berkembang jika ‘jalan-gampang mania’ ini, sadar atau tidak, menjadi dominan dalam ‘permainan’ hidup bersama? Kedua, ketika ideologi gagal membangun respon terhadap tantangan ‘yang sepantasnya’, maka ia bisa-bisa jatuh pada kecanduan akan utopia. Eskapisme. *** (18-11-2022)

 

 

Spin-mania