www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-11-2022

Sebuah kematian itu adalah ‘milik-sendiri’. Dia harus dihadapi sendiri, tidak bisa diwakilkan. Demikian juga kematian Reformasi, ia adalah milik bangsa Indonesia sendiri, harus dihadapi sendiri. Tidak bisa diwakilkan pada bangsa Amerika, atau bangsa Jepang, bangsa China. Atau dibebankan di pundak Biden atau Xi Jinping. Tidak bisa. Kematian reformasi sebagai kemungkinan adalah ‘milik-bangsa-Indonesia’ sendiri. Karena kematian reformasi itu sungguh ‘milik-bangsa-Indonesia’ sendiri maka sangat tidak mudah minta Biden atau Xi Jinping untuk ikut merasakan kematian Reformasi. Atau berharap mereka-mereka untuk ikut merasakan apa yang bangsa Indonesia rasakan ketika kematian Reformasi mendekat, janganlah buang-buang energi untuk itu. Merasakan kematian Reformasi yang bahkan sebagai kemungkinan ia sudah hadir segera setelah Reformasi itu dilahirkan.

Tetapi bagaimanapun juga Reformasi itu ada dalam ranah olah-kuasa. Dan dalam pandangan realisme politik, menurut Mearsheimer seperti dikutip oleh Brian C. Schmidt, “calculations about power lie at the heart of how states think about the world around them.”[1] Maka sebenarnya Reformasi-pun ada tidak di ruang kosong. Mungkinkah Reformasi itu ada dalam bayang-bayang ‘politik pintu terbuka’ ke-3? ‘Politik pintu terbuka’ pertama ada di jaman kolonial ketika Undang Undang Agraria diundangkan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. ‘Politik pintu terbuka’ kedua di tahun 1966 ketika Orde Baru naik ke kekuasaan. Ketika modal-modal nun jauh di sana mulai ‘kegerahan’ atas ‘beban’ yang harus turut dipikul dalam paradigma negara kesejahteraan pasca Perang Dunia II. Maka tak mengherankan pula undang-undang pertama yang di-sahkan adalah undang-undang penanaman modal asing. Bertahun kemudian, naiknya paradigma neoliberalisme yang seakan di-booster oleh globalisasi itu mulai menggedor-gedor pintu yang seakan tidak mau terbuka lebar-lebar karena laku ugal-ugalan kroni-isme selama Orde Baru. Reformasi seakan ikut naik berselancar di atas gelombang globalisasi ini.

Bandingkan dengan Proklamasi yang juga seakan berselancar di atas gelombang melemahnya rantai imperialisme akibat Perang Dunia II, yang juga merambah sampai ke Pasifik itu. Tetapi berselancar di atas gelombang atau tidak, apapun itu, tetaplah ada faktor keputusan yang diambil seakan ada dalam kendali. Dan memang itu benar-benar ada dalam kendali. Kadang ‘yang-kecil-kecil’ itu memang harus bisa mengambil kesempatan di tengah-tengah ancaman kematian yang ditebar oleh para ‘raksasa’. “Negara kuat akan melakukan apa yang mereka mau dan negara yang lemah akan menanggung konsekuensinya,” demikian salah satu catatan dari Thucydides (460-400 SM). Jadi memang ‘mereka-mereka’ itu tidak bisa diharapkan untuk ikut ‘meratapi’ jika Proklamasi kolaps di tengah jalan. Atau Reformasi mati di tengah jalan. Dalam hubungan dengan negara-bangsa lain, kepentingan nasional masing-masing-lah yang akan maju paling depan. Tak ada yang luar biasa dalam hal ini. Maka sekali lagi, kematian republik atau reformasi sebagai kemungkinan itu  sungguh hanya akan menjadi ‘milik-bangsa-Indonesia’ sendiri, seperti di awal tulisan.

Seorang dokter di UGD pastilah ada rasa cemas saat ia jaga malam misalnya, tetap ada kemungkinan tiba-tiba saja pasien datang dalam jumlah banyak, karena sebuah bis penuh penumpang kecelakaan tak jauh dari rumah sakit tempat ia jaga UGD. Atau dalam suatu hajatan ada keracunan makanan. Tetapi adanya kemungkinan kolaps-nya kemampuan UGD itu apakah kemudian membuat setiap jaga malam ia ketakutan? Cemas ya, takut tidak, karena sudah ada prosedur-prosedur yang sudah disiapkan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan kolapsnya UGD karena bermacam hal. Kolaps-nya Reformasi sebagai kemungkinan sebaiknya jangan dihadapi dengan rasa takut. Ya, kita cemas akan kemungkinan itu, tetapi rasa cemas ini akan mendorong kita untuk bisa lebih membangun antisipasi dari pada jika dikurung rasa takut. Kolaps-nya republik karena adanya radikalisme jelas secara potensial dimungkinkan. Demikian juga komunitas lain, pastilah akan ada sekelompok yang memilih berdiri di ujung. Tidak ada yang luar biasa dalam hal ini. Apakah kita mesti cemas terhadap hal itu? Ya, dan untuk itulah antisipasi dikembangkan. Bukan dengan rasa takut, yang justru malah akan semakin menguak kelemahan-kelemahan kita. Tetapi bagaimana jika justru rasa-takut yang di-eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu? Rasa-takut yang justru tidak mendorong untuk membuka lapis-demi-lapis mengapa radikalisme itu kemudian ada? Siapa tahu, rasa cemas yang ada –bukan rasa takut, justru mampu membangun antisipasi yang tepat dengan meningkatkan kepercayaan publik, meningkatkan kesejahteraan umum, dan terus berusaha untuk mewujudkan keadilan, misalnya. *** (10-11-2022)

 

[1] Brian C. Schmidt, Realism and facets of power in international relations, dalam Felix Berenskotter, MJ Williams (ed.), Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 43

Kematian Reformasi Sebagai Kemungkinan (1)