www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-7-2018

Ketika sang pangeran telah menguasai Rogmana dan merasa perlu untuk menenangkan dan membuat Rogmana patuh kepada pemerintahannya, ia menunjuk Remirro de Orco, seorang yang kejam, cakap dan diberinya segala kepercayaan dan wewenang. Dalam waktu yang singkat, Remirro telah berhasil memulihkan tata tertib dan persatuan dan mendapatkan pujian besar. Kemudian sang pangeran mengambil keputusan bahwa wewenang yang berlebihan ini tidak diperlukan lagi, karena bisa tumbuh dan tak dapat dikendalikan lagi. Karena itu ia mendirikan di tengah propinsi sebuah pengadilan sipil, yang dipimpin oleh seorang ketua yang sangat terkenal. Setiap kota mempunyai perwakilannya di pengadilan tersebut. Dengan menyadari bahwa kekejaman dari masa lalu telah banyak menimbulkan kebencian padanya, sang pangeran bertekad untuk membuktikan bahwa kekejaman yang ditimpakan, bukanlah merupakan tindakannya, tetapi dilakukan oleh sifat kejam para menterinya. Cesare menunggu kesempatan baik ini. Kemudian, pada suatu pagi, tubuh Remirro ditemukan terpotong dua di lapangan Cesena bersama sepotong kayu dan sebilah pisau berdarah di samping tubuhnya.[1]

Cobalah apa yang ditulis oleh Machiavelli di atas kita bandingkan dengan ‘hikayat jendral esemka’ bertahun lalu. Mobil Esemka yang begitu hiruk-pikuk itu berhasil melambungkan Jokowi yang saat itu sebagai walikota Solo, dan berhasil masuk gelanggang pilgub DKI, dan memenangkannya. Bagaimana nasib ‘jendral esemka’? Tidak jauh dari nasib Remirro di atas, nasib ‘jendral esemka’ ketika Jokowi sudah terpilih jadi gubernur DKI: “Sudah bukan urusan saya lagi.”

Nasib ‘jendral esemka’ beserta hiruk-pikuk hikayatnya, seakan menegaskan apa yang mau disampaikan oleh Machiavelli di banyak bagian tulisannya, yang bisa juga disebut sebagai semacam ‘postulat fundamental dari kehidupan politik’ seperti disampaikan oleh M. Sastrapratedja & Frans M. Parera dalam Kata Pengantar buku Machiavelli Sang Penguasa: ‘bahwa rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan sang penguasa secara menarik dan persuasif; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat, dan sangat mudah diyakinkan dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung’.[2]

Kekuasaan (power) didekati oleh Machiavelli dari lubang gelapnya. Demikian juga Thomas Hobbes dan Carl Schmitt. Mungkin mereka begitu dekat dengan sisi gelap kekuasaan karena mereka hidup dengan sekitarnya ketika kekuasaan sedang berkecamuk dalam kegelapan. Berbeda dengan John Rawls, Hannah Arendt, Habermas misalnya, yang lebih meraba sisi terang dari kekuasaan. Baik dari sisi gelap atau terang, mereka-mereka yang disebut di depan adalah sebagian dari teoritisi kekuasaan. Lalu, bagaimana rakyat kebanyakan menghayati kekuasaan?

Di banyak komunitas, kiranya kekuasaan akan dihayati dalam terang. Kekuasaan yang putih, bukan gelap. Hidupnya dalam angan-angan secara terus-menerus akan adanya Ratu Adil sedikit bisa untuk meraba bagaimana kekuasaan itu dihayati oleh kebanyakan. Mungkin ini didasari oleh keinginan akan menjauhnya chaos, sehingga dengan adanya harmoni, survival bisa lebih mudah dijalani. Jika toh ada kompetisi, kompetisi adalah sifatnya ‘horisontal’, dan tidak harus berhadapan dengan sesuatu yang begitu besarnya ‘dari atas’. Dan mungkinkah ke-‘lugu’-an kebanyakan itu dalam menghayati kekuasaan justru menjadi ‘makanan empuk’ sehingga apa yang disebut Machiavelli di atas menjadi mewujud? Yaitu, ‘rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan sang penguasa secara menarik dan persuasif; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat, dan sangat mudah diyakinkan dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung’? *** (09-7-2018)

 

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit Gramedia, 1987, hlm. 29-30

[2] Ibid, hlm. xxix

Hitam-putih-nya Kekuasaan

gallery/machiavelli
gallery/jokowi karnival