www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-7-2018

Ketika anak-anak kutu sedang berloncatan, mungkin mereka sedang main. Melalui main-main mungkin kutu anak-anak itu sedang mengasah kemampuan yang kelak akan berguna jika sudah dewasa. Sedang kutu dewasa loncat mungkin ada dua alasan, pertama, menghindari gencetan karena si inang sedang garuk-garuk. Atau kedua, loncat untuk pindah tempat di mana makanan lebih tersedia. Intinya, loncat untuk bertahan hidup.

Bagi manusia, bertahan hidup, atau segala aktifitas untuk bertahan hidup karena tuntutan karakter biologisnya, menurut Hannah Arendt adalah termasuk aktivitas kerja (labor). Selain labor (kerja), Arendt juga membedakan dua aktivitas fundamental lain, yaitu karya (work), dan tindakan (action). Ketiganya termasuk dalam vita activa, aktivitas inderawi manusia. Kegiatan mendasar manusia lain selain vita activa adalah vita contemplativa yang merupakan kegiatan atau aktivitas mental: berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging).

Karya (work), menurut Arendt adalah the activity which corresponds to the unnaturalness of human body.[1] Karya (work) ini dekat dengan apa yang sering disebut sebagai homo faber. Sedang kerja (labor) dekat dengan istilah animal laborans. Istilah zoon politikon kiranya bisa menjadi titik berangkat untuk memperjelas apa yang disebut Arendt sebagai action atau tindakan. Bagi Arendt, Kerja dan karya adalah bidang non-politis, ada di wilayah privat. Sedang tindakan adalah aktivitas politis, si-zoon politikon –ada di ruang publik. Karena sifat-nya adalah ‘publik’ maka tindakan (action) sebagai aktivitas politis ini akan selalu bersentuhan dengan ‘yang lain’. Maka tidak heran jika dialog, bahasa adalah ‘pendamping utama’ dalam tindakan.

Ketika tindakan politik kemudian dihayati sebagai kerja (labor), atau sebagai ‘mata-pencaharian’ demi tuntutan biologisnya, retaklah ruang publik. Ketika tindakan politik kemudian dihayati layaknya kutu yang suka loncat demi mendapat ruang makan yang lebih baik, retaklah zoon politikon itu, dan tanpa sadar atau tidak, ‘turun derajat’ menjadi sekedar animal laborans. Loncat tentu bisa juga tidak berarti seperti kutu, hanya jika loncat itu melibatkan dialog yang intens, dalam konteks ke-publik-an. Artinya, sebelum loncat tentu ada dialog, ada pemakaian bahasa yang sungguh-sungguh sehingga kalaupun loncat, bukan lagi seperti kutu loncat. Itupun jika dilakukan loncatan yang berkali-kali, publik akan merasa sah jika bahasa yang terlontar bukanlah sungguh-sungguh lagi.

Maka lihatlah para ‘kutu-kutu loncat’ dan pemakaian bahasanya, baik sebelum, selama, dan sesudah loncatan. Juga tindakan riil sebelum, selama, dan sesudah loncatan. Karena menurut Percy W. Bridgman, seperti dikutip oleh Mochtar Lubis, “makna sebenarnya dari suatu kata hanya dapat ditemukan dengan meneliti apa yang dilakukan seseorang dengannya, dan bukan dengan apa yang dikatakannya dengan kata tersebut”.[2] *** (09-7-2018)


[1] Hannah Arendt, Human Conditions, Doubleday Anchors Books, New York, 1959, hlm. 9

[2] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggung Jawaban, Penerbit Inti Idayu Press, 1986, cet-7, hlm. 36

Mengapa Harus Loncat, Kutu .......

gallery/kutu