www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-10-2022

Berbulan lalu, entah dengan alasan apa Putin melakukan invasi ke Ukraina, dan pecahlah perang. Nampaknya skenario perang Putin tidak berjalan mulus, karena yang diperkirakan perang berlangsung dalam hitungan minggu ternyata sampai berbulan-bulan, bahkan minggu-minggu terakhir mulai kewalahan menghadapi gempuran balik tentara-tentara Ukraina. Di tengah-tengah mulai kepayahan, Putin mengambil langkah ‘referendum’ di daerah Ukraina yang berhasil didudukinya. ‘Referendum’ di bawah todongan senapan itu kemudian diklaim telah dimenangkannya, warga setempat –katanya, memilih bergabung dengan Rusia. Hasil ‘referendum’ itu kemudian di sah-kan oleh parlemen Rusia, dan jadilah luas teritori Rusia bertambah. Dan dengan itu pula Putin mulai mengancam-ngancam akan menggunakan senjata nuklir jika perlu untuk mempertahankan negara-nya, maksudnya termasuk dan terutama untuk hari-hari ini bagian Ukraina yang sudah dicaploknya itu. Dengan itu pula Putin mulai memobilisasi tentara cadangannya yang dulu pernah ikut wajib militer. Di-mobilisasi untuk mempertahankan bagian baru dari ‘tanah air’. Sekitar lima-belas persen dari luas Ukraina.

Setelah kejadian meledaknya sebuah truk di atas jembatan yang menghubungkan Crimea dan Rusia, Putin meningkatkan serangan ke kota-kota di Ukraina di luar daerah yang sudah dikuasai. Bahkan Jakarta-nya Ukrainapun dibombardir. Peluru yang dilontarkan dalam serangan dua hari itu lebih dari 100 misil dan drone. Ternyata yang ditarget adalah infrastruktur-infrastruktur energi. Sebelum ledakan di atas jembatan penghubung Crimea dan Rusia itu, terjadi kebocoran pipa gas di laut Baltik yang menyalurkan gas dari Rusia ke Uni Eropa. Sabotase sudah menjadi 'pendangan umum' tentang sebab-sebabnya, tetapi siapa yang melakukan? Hari-hari ini terberitakan bagaimana Arab Saudi memotong produksi minyaknya sampai 2 juta barrel per harinya, dan dengan itu harga minyak-pun merangkak naik. Pompa-pompa bensin di Perancis sana terberitakan ada yang mulai kehabisan stok. Dari ketiga peristiwa di atas, ada kesamaannya: soal energi. Energi yang semakin diperlukan ketika di Eropa sana akan memasuki musim dingin.

Apa yang tergambarkan di atas bisa menjadi pelajaran penting dalam mengembangkan hidup politik, terlebih dalam rejim demokrasi. Salah satu hal mendasar dari rejim demokrasi adalah dimungkinkannya adanya ‘kematian’ rejim yang sedang berkuasa. Satu rejim bisa tumbang, dan kemudian bangkit lagi untuk merebut kekuasaan. Maka memang dalam rejim demokrasi, yang aktif masih pegang senjata semestinya menjaga jarak. Jika terlalu dekat, apalagi ikut terlibat aktif dalam dinamika politik maka kemungkinan adanya ‘kematian rejim’ bisa-bisa selalu ada dalam bayang-bayang was-was. Tidak hanya akan membesarnya potensi seperti ‘referendum’ di bawah todongan senapan di bagian Ukraina yang di klaim Putin seperti disebut di atas, tetapi juga segala kenikmatan yang diperoleh dari mendekatnya ke politik praktis itu akan dibelanya mati-matian, bahkan jika perlu layaknya ancaman nuklir dari Putin jika ‘kenikmatan’ mencaplok bagian Ukraina itu diganggu. Tentu bukan nuklir dalam hal ini, tetapi bisa pentungan, senapan menyalak, gas air mata dilontarkan, bahkan penghilangan nyawa, baik individual maupun massal. Atau bermacam gangguan terhadap kebutuhan dasar misalnya, soal energi, pangan, komunikasi, dan  lain-lain. Rakyat yang tak tahu apa-apa justru yang pertama-tama menjadi sasaran. Rakyat yang tidak memegang senjata itu jadi korban. Bagaimana tidak? Mereka seperti disebut di atas, pegang senjata! Bermacam jenis senjata, bermacam bentuk kekuatan kekerasan akan dengan mudahnya menampakkan diri, akan terus pula membayangi-mengawal bermacam kenikmatan yang sudah diperolehnya. Bagi Hobbes, hasrat akan kuasa itu akan dibawa sampai ajal karena tidak hanya dimungkinkan untuk memperoleh apa saja selagi berkuasa, tetapi juga untuk melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya itu. Terlebih jika apa-apa yang diperoleh itu  rutenya adalah: kuasa. *** (13-10-2022)

 

Putin Hari Ini