www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-10-2022

Ketika kekuasaan ada dalam nuansa patron-klien, kuasa yang ada dalam tangan klien bisa-bisa merupakan ‘kuasa tanpa wajah’. Maka tidak mengherankan jika kemudian masalah etika terpinggirkan. Menurut Levinas, pertemuan tatap-muka (face-to-face) itu tidak hanya soal bertemu saja, tetapi ada soal etika di situ. ‘Yang lain’ seakan menuntut tanggung jawab kita. Berlaku etis itu tidak hanya terkait soal timbang-menimbang, tetapi adalah soal latihan. Soal bagaimana ‘kualitas’ diri diuji berulang dan berulang. Lebih dari soal kebiasaan saja, karena pada titik-titik tertentu ia akan mengundang dengan intensnya hal timbang-menimbang itu. Karena urusannya bukan lagi pilihan antara baik dan buruk, tetapi bisa-bisa antara baik dan benar, misalnya.

Dalam ‘teori segitiga hasrat’-nya Rene Girard, S (subyek) akan menghasrati O (obyek) karena meniru M (model) yang juga menghasrati O. Tetapi pada titik tertentu M justru akan terhayati sebagai rival-nya oleh S, terlebih jika M itu adalah ‘model internal’ –katakanlah yang dekat atau masih terjangkau oleh S. Menurut Girard, supaya rivalitas itu tidak menghancurkan ‘kebersamaan’ maka perlu hadirnya si-‘kambing hitam’. Dalam dunia digital via sosial-media seperti sekarang ini, rasa-rasanya bahkan adanya ‘kambing hitam’-pun bisa-bisa kurang ‘berkhasiat’. Karena setiap saat melalui sosial-media itu misalnya, banyak ‘amunisi’ yang justru bisa terus-menerus ‘merawat’ rivalitas itu, bahkan bisa-bisa menaikkan ‘tensi’-nya. Tanpa sadar tiba-tiba saja wajah kita sudah ‘disusupi’ oleh ‘model-model eksternal’ melalui sosial media, dan memandang ‘model internal’ yang sudah menjadi ‘rival’ itu secara menjauh dari relasi-relasi etis yang semestinya tumbuh saat bertemu tatap-muka. Kita bisa menjadi semakin ‘terasing’ di antara orang-orang sekitar kita sendiri.

Dalam situasi seperti di atas maka dapat dilihat bahwa masalah etika ini memang mendapatkan tantangan yang lebih besar, justru ketika Revolusi Informasi benar-benar kejadian. Karena ‘wajah-wajah’ itu ternyata semakin mudah ‘menghilang’ saja. Tentu pendidikan –terlebih di pendidikan dasar, 9 tahun wajib belajar itu, dengan ‘harta-karun’-nya: kesempatan tatap muka itu, kesempatan bertemu face-to-face, akan mempunyai peran penting dalam soal ‘pendidikan etika’-nya. Tetapi jika mengingat ‘teori segitiga hasrat’-nya Girard di atas, si-‘super-model’ dalam struktur-struktur masyarakat kiranya akan mempunyai peran pentingnya. Dalam membangun etika dalam hidup bersama, tetapi sayangnya, juga bagaimana menghancurkan etika dalam hidup bersama.

Dalam dunia yang  semakin panas-dingin ini, dan terlebih seakan terbelah menjadi dua kubu, pengalaman hidup di tengah-tengah Perang Dingin lalu mestinya memberikan pelajaran penting. Lebih memilih untuk menjadi klien dari salah satu patron terbukti dari bermacam catatan sejarah justru kita harus membayar bermacam ‘biaya’ yang sungguh sangat mahal. Biaya kemanusiaan, biaya sosial, dan juga adalah, katakanlah, ‘biaya-kesempatan’ dalam arti mengecilnya bermacam kesempatan untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi jika dilihat dari bermacam potensi yang kita punyai.

Kita mempunyai pengalaman panjang ketika bayang-bayang dominan dari relasi patron-klien itu adalah kekuatan kekerasan, dan bertahun terakhir kita mempunyai pengalaman ketika bayang-bayang dominan dari relasi patron-klien itu adalah kekuatan uang. Jaman Gus Dur jika kesempatan cukup maka kita bisa merasakan bagaimana kekuatan pengetahuan maju di depan. Demikian juga jaman SBY, meski kemudian ada yang mengolok-oloknya sebagai yang ragu-ragu. Dan memang dengan kekuatan pengetahuan, kemungkinan untuk ‘lolos’ atau berkelit dari terkaman total relasi patron-klien akan lebih besar. Tentu dalam politik ia perlu juga back-up dari kekuatan kekerasan dan uang. Karena dalam politik kadang gertak bisa menentukan hasil. Tetapi sekali lagi, seperti dikatakan oleh Alvin Toffler, di era Revolusi Informasi ini, kekuatan pengetahuan-lah yang semestinya memimpin. *** (09-10-2022)

Klien dan Tanpa Wajahnya