www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-10-2022

Bagaimana jika kata ‘informasi’ kita beri tekanan pada bagian ‘formasi’-nya? Maka akan terasa bukan hanya soal berita, tetapi juga adanya kekuatan ‘membentuk’. Revolusi Informasi itu lebih bicara soal kecepatan dan keluasan dengan segala akibatnya, tetapi dapat dilihat juga bahwa setiap ‘revolusi’ akan selalu lekat dengan informasi. Yaitu ketika informasi melakukan ‘tugas’ formasi-nya melalui lebih dari satu pihak saja.

Advocatus diaboli adalah term dalam Gereja Katolik, mulai dikenal tahun 1587. Si-devil’s advocate akan terlibat dalam proses penetapan seseorang yang dianggap suci untuk menjadi santo atau santa. Ia akan mengajukan argumentasinya yang bisa-bisa berlawanan dengan yang diajukan oleh si-advocatus dei, katakanlah si-pengusul. Apakah ini juga didorong oleh ditemukan mesin cetak massal Guttenberg yang berimplikasi bermacam informasi menjadi tidak hanya milik si pemegang manuskrip? Atau juga bagaimana berkembangnya ensiklopedia itu mendorong meledaknya Revolusi Perancis. Atau hadirnya barang-barang cetakan dan radio di republik dalam proses pembentukan kemerdekaan republik? Manusia yang kita kenal sekarang ini, menurut Svante Pääbo, pemenang Nobel bidang Kedokteran 2022, adalah campuran, mixed, berdasarkan studi DNA selama lebih dari 25 tahun dari bermacam temuan fosil dari bermacam tempat di planet ini. Dan DNA itu pada dasarnya adalah informasi. Atau juga  misal tehnik penulisan doxografi yang mulai sejak jaman Yunani Kuno itu.

Apa yang ingin disampaikan dari beberapa hal di atas adalah, informasi hanya akan sungguh memberikan ‘formasi’ yang menuju pada kemajuan jika dan hanya jika dimungkinkan adanya ‘pertukaran’. Entah pertukaran itu dalam konteks memperkaya, ataupun dalam  kontradiksinya. Karena informasi juga mempunyai kekuatan dalam ‘membentuk’ maka informasi-pun menjadi hal menggiurkan dalam bermacam olah kuasa.  Maka tak mengherankan pula jika pers yang hidup sehari-harinya itu ‘berkubang’ di ranah olah informasi kemudian ‘terseret’ juga dalam ikut menentukan bagaimana, katakanlah, demokrasi berkembang. Bagaimana hidup bersama juga akan berkembang. Kaum jurnalis-nyapun akan menempati posisi penting dalam bangunan hidup bersama. Atau dalam konteks yang lebih luas, bahkan bisa dikatakan bagaimana informasi itu dikelola dalam hidup bersama, ia akan sangat menentukan kualitas hidup bersama. Hidup bersama yang kemudian menjadi juga bagian dari proses belajar bersama. Masyarakat pembelajar.

Jika pertukaran informasi ini di sana-sini banyak diingkari, misal dengan melarang untuk menyampaikan kebenaran, informasi bisa-bisa menjadi sebuah tirai asap yang mengaburkan realitas. Disinformasi, misinformasi, adalah hal terkait dengan informasi yang sudah ada sejak manusia membangun bahasanya. Jadi bukan hal aneh lagi. Yang aneh dan semakin aneh lagi adalah mengusik bermacam ‘pertukaran’ informasi. Seakan-akan monopoli  informasi adalah hal sebagaimana mestinya bagi si-penguasa. Inilah yang ‘nganeh-anehi’ dan mempunyai potensi besar dalam menghambat kemajuan hidup bersama. Jurnalis profesional dalam melakukan tugasnya menjadi ada dalam bayang-bayang ketakutan. Demikian juga pers-nya. Juga netizen di media-sosialnya, misalnya. Ketika monopoli infomasi dalam praktek lebih pada si-penguasa, maka collateral damage sebenarnya lebih ada di pihak si-penguasa. Ia bisa semau-maunya. Toh yang semau-maunya itu bisa dibungkus dengan informasi (cantik) versi dia juga. Rusak-rusakan. ‘Jalan gampang’ yang sungguh merusak. *** (04-10-2022)

In Formasi