www.pergerakankebangsaaan.com

05-7-2018

“The Party of Wall Street has one universal principle of rule: that there shall be no serious challenge to the absolute power of money to rule absolutely,”[1] demikian dikatakan David Harvey dalam Rebel Cities (2012). Selanjutnya pada halaman lain, Harvey menulis:

The Party of Wall Street ceaselessly wages class war. “Of course there is class war,” says Warren Buffet, “and it is my class, the rich, who are making it and we are winning.” Much of this war is waged in secret, behind a series of masks and obfuscations through which the aims and objectives of the Party of Wall Street are disguised.[2]

Dalam perang selalu masalah utamanya adalah kekuasaan. Dan kekuasaan, seperti dikatakan Hobbes, selain merupakan hasrat manusia yang tidak pernah berhenti sampai kematiannya, kekuasaan akan memastikan segala kenikmatan yang sudah diperolehnya akan tetap selalu dinikmati. Tidak hanya kekuasaan, tetapi kekuasaan lebih dan yang terus membesar. “... because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, wihout the acquisition more,”[3] demikian Hobbes dalam bahasa Inggris jadoel.

Dalam Politics, Aristoteles menulis: “Democracy is the rule of the poor; oligarchy is that of the rich.”[4] Oligarchy (makna katanya: rule by the few) yang berarti kekuasaan di tangan si-kaya menurut Aristoteles ini sekarang sering disebut sebagai plutokrasi. Apa yang ditulis Aristoteles tentang demokrasi dan oligarki di atas, secara lugas Harold J Laski memotret ketegangan di antara keduanya. Dalam The State in Theory and Practice, Laski menulis:

“The profit-making motive demanded lower wages, inferior general conditions of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contraction of the social services. But democracy has led the masses to expect the reserve all this.”[5]

Jika medan ‘perang kelas’ seperti disebut Warren Buffet di awal tulisan ini adalah lapangan demokrasi, maka demokrasi bisa-bisa jatuh  sebagai salah satu dari ‘a series of masks and obfuscations through which the aims and objectives of the Party of Wall Street are disguised’. Pemakaian istilah ‘Partai Wall Street” ini sekedar untuk menunjuk peran penting bagi ‘kelompok-kelompok’ super-rich dalam demokrasi di Republik.

‘Kelompok-kelompok’? Ya, ‘kelompok-kelompok’, dan cobalah kita mundur di waktu dinamika Pilpres 2014 semakin menghangat, ketika dengan lugas Jusuf Kalla mengatakan ‘jika Jokowi jadi presiden, hancur negara ini’. Tapi toh akhirnya Jokowi dan Jusuf Kala maju bersama. Dan yakinlah, tidak semua ‘kelompok’ super-rich ini akan setuju dengan frase ‘ayah kandung-ayah angkat’ yang sempat menghangat beberapa waktu lalu. Inilah moment ketika dua gajah bersepakat, pelanduk sekarat megap-megap di tengah. *** (05-7-2018)

'Partai Wall Street' di Republik

© 2018 pergerakankebangsaan.com

email: likwanpk@gmail.com