www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-6-2018

“Pendidikan telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan transformasi sosial, akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktisi pendidikan di lapangan”

 

Kutipan di atas diambil dari sampul belakang buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya refleksi Darmaningtyas, diterbitkan LkiS tahun 2005. Judul tulisan ini terinspirasi darinya. Dan cobalah kata ‘pendidikan’ dalam kutipan di atas diganti dengan kata ‘demokrasi’, bukankah bisa sebagai titik tolak?

Ranah demokrasi ada dalam ranah politik, atau lugasnya: ranah perebutan kekuasaan. Sejarah panjang manusia tidak lepas dari perebutan kekuasaan ini, bahkan ketika masih berebut kekuasaan melawan hewan jaman purba dulu. Demokrasi bisa dikatakan sebagai salah satu perkembangan penting dalam peradaban manusia, sehingga perebutan kekuasaan itu tidak terperosok dalam situasi hancur-hancuran, atau rusak-rusakan. Karena ranah demokrasi ada dalam ranah kekuasaan, maka mau tidak mau ia harus berhadapan dengan salah satu hasrat terdalam manusia: hasrat akan kekuasaan itu sendiri. Bagi Thomas Hobbes, hasrat kekuasaan hanya akan hilang ketika manusia mati.

“So that in the first place, I put for a general inclination of all mankind a perpetual and restless desire of power after power, that ceaseth only in death.” Hobbes melanjutkan, “... because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition more.”[i]

Tidak hanya masalah hasrat kekuasaan yang akan berhenti ketika manusia itu mati, tetapi Hobbes juga menegaskan bahwa hanya dengan kekuasaan dan kekuasaan yang lebih lagi-lah maka manusia akan merasa aman dan mengamankan capaian hidupnya –sekarang dan masa kedepannya. Tentu kita bisa tidak/kurang setuju dengan Hobbes, tetapi tidak sedikit pula yang meyakininya. Dan tidak hanya meyakini, tetapi sebagai salah satu dasar bangunan ‘ideologi’-nya.

Melihat ‘problem’ yang dilempar Thomas Hobbes di atas maka tak heran jika kemudian peradaban manusia berkembang seiring dengan keinginan untuk mencegah hal yang menghancurkan itu. Untunglah karena karunia dan evolusi, manusia mempunyai volume dan kompleksitas otak tertinggi dalam ‘dunia binatang’. Dan dipakailah kemampuan otak itu untuk ‘mendamaikan’ gejolak hasrat. Kira-kira hampir mirip dengan penggambaran Platon tentang kereta perang yang ditarik oleh kuda putih dan kuda hitam. Kuda hitam adalah hasrat akan uang, kemewahan, seks atau digambarkan di bagian lain oleh Platon, hasrat yang bersumber di bawah pusar. Kuda putih adalah gejolak yang bersumber di dada, harga diri, dan termasuk di sini hasrat akan kekuasaan. Kusir atau sais adalah rasio, yang ada di kepala.

Masalahnya adalah bagaimana rasio berkembang dan berkontribusi terhadap perkembangan peradaban? Bung Karno dengan cerdas mengingatkan, jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Thomas Hobbes menulis Leviathan seperti kutipan di atas adalah dengan latar belakang kehidupan tertentu, di tengah-tengah berkecamuknya perang saudara di Inggris sekitar tahun 1640-an. Demikian juga banyak penulis-penulis lain yang mau-tidak-mau akan dipengaruhi pula kejadian-kejadian di sekitar kehidupannya. Mereka mencoba ‘berhenti sejenak’ dari rutinnya hidup, mencoba tidak tenggelam di dalamnya, dan merefleksikan serta mengembangkan imajinasinya.

Kalau kita telisik lebih dalam lagi, dibalik berkembangnya demokrasi sebagai bagian dari peradaban adalah terbangunnya dengan susah-payah sebuah kepercayaantrust. Bagi Thomas Hobbes yang besar dalam suasana ketakutan, lahirnya sang Leviathan mungkin menjadi bagian dari solusi untuk ‘memaksa’ saling percaya. Bagi Habermas, tentu lain lagi.

Dalam demokrasi perwakilan seperti sekarang ini, jelas masalah kepercayaan adalah sangat mendasar. Kita menunjuk wakil kita adalah karena faktor percaya, apapun alasannya. Rutenya adalah kita setuju atas rencana, program, bahkan sampai pada sosok sang wakil. Kalau dulu, salah satu cara ‘memuaskan’ hasrat berkuasa, ‘demokrasi injak kaki’ bisa menjadi jalan pintas melanggengkan kekuasaan. Sekarang, meski itu masih merupakan kemungkinan, apa yang disebut oleh Noam Chomsky (dan E.S. Herman sebagai co-author) sebagai manufacturing consent semakin merebak. Dengan kemajuan tekhnologi di berbagai bidang, khususnya informasi dan neuroscience, propaganda semakin beragam strategi dan taktiknya. Kepercayaan dan persejutuan untuk memilih menjadi fokus utama dalam pe-rekayasa-an melalui propaganda.

Kembali kepada jasmerah-nya si Bung, bagaimana perjalanan sejarah bangsa dan situasi sekarang ini dapat kita pahami melalui kacamata demokrasi di mana warna kacanya adalah kepercayaan –trust itu? Apapun hasil pe-rekayasa-an melalui berbagai strategi dan taktik propaganda, rasa percaya tetap masih bisa terusik dan berkembang menjadi rasa ke-tidak-percaya-an. Berkembangya rasa ke-tidak-percaya-an ini akan berakibat si penguasa bisa jatuh dalam keadaan ‘panik’, dan seperti kutipan di atas, bisa-bisa melakukan berbagai hal yang menjurus pada tindakan ‘malpraktik’.  Inilah awal dari kemungkinan terjadinya ‘demokrasi rusak-rusak-an’. Apalagi jika para ‘praktisi demokrasi’ di lapangan, dan terutama yang sekaligus sebagai penikmat kekuasaan ikut-ikut ‘panik’ akan kemungkinan hilangnya nikmat berkuasa. Seperti kata Hobbes di atas, merasa masa depan terancam ketika tidak berkuasa lagi.

Tetapi mengapa ‘kepanikan-kepanikan’ itu tidak mesti menjurus pada ‘demokrasi rusak-rusak-an’? Pengalaman memberi pelajaran pada kita, juga pengalaman bangsa lain. Apa yang kita rasakan sekarang ini, dan kekhawatiran terjerumus kepada ‘demokrasi rusak-rusak-an’ sedikit banyak bisa tergambarkan dari kutipan Napoleon di bawah:

“When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of  their mediocrity” *** (23-6-2018)

 

[i] Thomas Hobbes, Leviathan, Andrew Crooke, 1651, hlm. 61 (bahasa Inggris masih bahasa Inggris ‘jadoel’)

Demokrasi Rusak-Rusakan

gallery/jokowi-petugas-partai