www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-6-2018

Sifat ksatria dalam politik kiranya akan sulit dibahas. Akan lebih mudah dibedah jika melibatkan pelaku-pelaku politik. Terlebih pada elit-elitnya. Dari sudut budaya Jawa ada yang mengkaitkan sifat ksatria ini dengan 4 pepatah Jawa, nglurug tanpa bala, sekti tanpa aji, menang tanpa ngasorake, dan sugih tanpa bandha.[1] Jika kita telusuri lebih dalam ke-empat pepatah Jawa tersebut maka akan kita temukan hal mendasar, yaitu tahu batas dan mawas diri.

Tahu batas karena kita sebagai manusia selalu tidak lepas dari gejolak hasrat. Hasrat yang digambarkan oleh Platon sebagai kuda hitam dan kuda putih, hasrat yang ada dibawah pusar dan di dada. Hasrat akan kekayaan, seks, kekenyangan, dan bangga diri. Disiplin hasrat dalam aliran Stoa adalah dengan selalu berupaya menetapkan atau menarik garis batas antara apa yang sepenuhnya tergantung pada daya kuasa diri dan apa yang sama sekali tidak tergantung pada daya kuasa diri.[2] Maka dapat dirasakan di sini bagaimana kemampuan mawas diri dapat mendorong untuk lebih mengenali berbagai batas tersebut.

Ketika Proklamasi dideklarasikan maka cita-cita hidup bersama disepakati dan dirumuskan, tidak hanya untuk besok tahun 1946 tetapi terlebih untuk generasi-generasi selanjutnya. Bagi generasi penerus, perlu penghayatan lebih dalam usaha menghayati cita-cita bersama yang terumuskan jauh sebelum dia lahir. Bagi seorang pemimpin maka dia juga tiada henti mengembangkan penghayatan terhadap cita-cita bersama itu. Sama sekali tidak alasan bahwa waktu itu belum lahir atau masih kecil, atau baru berumur tiga setengah tahun misalnya. Dan sekaligus juga ia melihat tantangan sekarang dan masa depan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, dia juga ‘menghadapi’ segala gejolak hasrat yang ada dalam dirinya –dan juga ‘teman-teman’-nya.

Dalam realisme politik pada khususnya dan politik pada umumnya, Thomas Hobbes (1588-1679) banyak menjadi acuan. Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil, atau sering disebut Leviathan saja, ditulis oleh Hobbes dan diterbitkan tahun 1651. Leviathan terdiri dari empat bagian, Of Man, Of Commonwealth, Of Christian Commonwealth, dan terakhir Of the Kingdom of Darkness. Pada bagian pertama kita bisa belajar dari Hobbes mengenai apa itu senyatanya manusia dan bagaimana terkait dengan kekuasaan. Salah satu yang penting untuk diingat adalah pendapat Hobbes tentang manusia dan kekuasaan, bisa dilihat misalnya di bagian I, chapter 11, di mana Hobbes menulis:

“So that in the first place, I put for a general inclination of all mankind a perpetual and restless desire of power after power, that ceaseth only in death.” Hobbes melanjutkan, “... because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition more.”[3]

Entah kita setuju atau kurang setuju, atau bahkan tidak setuju dengan Koentjaraningrat, cobalah kita bayangkan apa yang diungkap oleh Thomas Hobbes disandingkan dengan pendapat Koentjaraningrat 44 tahun lalu. Koentjaraningrat menulis adanya (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya kepada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[4] Kelima sifat mentalitas ini disebut Koentjaraningrat 44 tahun lalu sebagai penghambat pembangunan.  Ada beberapa kemungkinan jika kedua pendapat di atas senyatanya ada dalam hidup bersama: maka bisa saja hidup bersama akan menjadi ‘sulit dikelola’. Atau merebaknya ‘patron-klien’ seperti dikatakan Kuntowijoyo.[5] Atau kesenjangan seakan menjadi masalah abadi. Atau mungkin ‘kesuraman’ lain.

Jika kita kembali pada masalah ‘sifat ksatria (elit) politik’, tentu timbul pertanyaan, mengapa harus elit? Politik selalu terkait dengan kekuasaan, dan kekuasaan seperti dikatakan Thomas Hobbes di atas, begitu dihasrati oleh manusia dan hanya berhenti ketika ia mati. Dan politik selalu ada pelaku-pelakunya, ada pimpinan-pimpinan politiknya. Pemimpin-pemimpin yang akan begitu mewarnai bagaimana hidup bersama berkembang. Atau jika meminjam istilah Arnold J. Toynbee, ‘minoritas kreatif’.[6] Jika tidak ada sama sekali sifat ksatria yang didasari ‘tahu batas’ dan ‘mawas diri’, dan selain itu juga melekat erat dalam dirinya sifat-sifat mentalitas seperti digambarkan oleh Koentjaraningrat di atas, bukankah kita perlu khawatir terhadap nasib dan cita-cita Proklamasi?

Para pemimpin itu selalu berdiri di antara apa yang seharusnya diperjuangkan (amanat konstitusi) dan senyatanya yang ada, atau potensial ada. Pemimpin yang tidak tahu batas dan miskin mawas diri jelas bukan pemimpin dalam logika ‘shangshangce[7] –meminjam istilah dalam tradisi Konfusius. Apalagi ditambah dengan plonga-plongo. Runyam.*** (15-6-2018)

 

[1] Lihat, http://ikiwongjowo.blogspot.com/2016/10/4-sifat-seorang-ksatria-berdasarkan.html

[2] Ito Prajna-Nugroho, Disiplin Hasrat dan Kerasnya Moralitas Pemimpin, dalam Greg. Sudargo, Satunya Kata dan Tindakan. Ryamizard Ryacudu, Kepemimpinan dan Kita, Penerbit Sanggar Pembasisan Pancasila, 2013,  hlm. 50

[3] Thomas Hobbes, Leviathan, Andrew Crooke, 1651, hlm. 61

[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Penerbit PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45

[5] Lihat, Kacung, https://www.pergerakankebangsaan.com/082-Kacung/

[6] Lihat, Minoritas Kreatif, https://www.pergerakankebangsaan.com/065-Minoritas-Kreatif/

[7] Lihat, ‘Shangshangce’, https://www.pergerakankebangsaan.com/018-Shangshangce/

Sifat Ksatria Dalam Politik

gallery/jokowi karnival