www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-6-2018

Beda dengan binatang, manusia tidak hanya sekedar tinggal di suatu tempat, tetapi ia membangun dunia-nya juga. Dunia yang membuat dia ‘kerasan’ untuk tinggal di dalamnya. Maka ‘rasa’ dari sebuah klaim akan teritori misalnya, tentu akan beda dengan klaim dari dunia binatang. Binatang tidak perlu argumentasi untuk sebuah klaim. Kalau toh perlu ‘argumentasi’ maka dasarnya adalah kekuatan fisik. Meski ‘sisa-sisa kebinatangannya’ masih melekat dalam diri manusia, sebagian besar klaim dalam dunia manusia tidak bisa lepas dari argumentasi. Adu argumentasi akan mewarnai ketika sebuah klaim berbenturan. Baik secara langsung atau melibatkan pihak ketiga. Selain argumentasi, bukti atau evidence kadang diperlukan untuk mendukung klaim. Binatang juga perlu bukti untuk klaimnya, misalnya bau kencing yang ditebar misalnya. Tetapi bagi manusia, bukti-pun kadang masih perlu di adu argumentasi. Jika gagal? Sejarah mencatat, kekuatan fisik-pun akhirnya menjadi bahasa selanjutnya. Mirip dengan dunia binatang meski bungkusnya bisa bermacam.

Ketika klaim-klaim sampai pada titik untuk dilakukan dialog, kadang yang terjadi bukan sekedar adu argumen, tetapi juga strategi dan taktik di luar ranah dialog. Dari intimidasi sampai pada propaganda bisa saja terjadi untuk memenangkan klaim.[1] Tekhnologi tidak lepas dari pelipat-gandaan daya.[2] Pelipat-gandaan daya ini dalam sejarah manusia ternyata mempunyai wajah ganda. Di satu sisi meningkatkan kualitas hidup tetapi di sisi lain muncul godaan untuk menggunakan daya yang berlipat itu sebagai kekuatan penakluk. Ketika klaim atas sesuatu dan kemudian diajukan faktor pendukung berupa bukti, atau evidence, atau bisa juga sebuah prototipe, semestinya terbuka untuk saling uji bukti. Kasus mobil Esemka bertahun lalu adalah contoh ‘klasik’ bagaimana evidence dalam hal ini prototipe, uji bukti-nya tenggelam dalam masif-nya propaganda. Pelipat-gandaan klaim melalui propaganda via media massa menenggelamkan uji-dialog terkait the truth behind the car.[3] Hasrat untuk dapat mempunyai mobil nasional, dan kemudian terjangkau karena murah menjadi bahan bakar tersendiri akan sebuah kegilaan. Tidak jauh dari berbagai maniac di bidang pasar finansial.

Klaim-klaim kadang juga memerlukan testimoni, saksi mata, atau kadang juga ‘legitimasi’ dari ahli. Karena ‘kegilaan’ klaim adalah juga fakta maka fakta pula apa yang pernah disinyalir oleh Julien Benda, The Betrayal of the Intellectuals.[4] Atau lihatlah kritik Rizal Ramli dan beberapa ekonom lainnya soal (kredibilitas) lembaga yang memberikan atau meng-klaim SMI sebagai menteri keuangan terbaik di dunia. Tak beda jauh dengan ketika Joko Widodo di-klaim sebagai salah satu walikota terbaik dunia, dulu.

Dan kegilaan klaim teranyar, klaim jalan tol Jokowi itu .... *** (12-6-2018)

 

[1] Sebagai ilustrasi, lihat juga Dari Hegemonia ke Arche, https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[2] Revolusi Industri 4.0 dan Kita (2), https://www.pergerakankebangsaan.com/067-Revolusi-Industri-4-0-dan-Kita-2/

[3] Dari GMT ke GMET, Dari GMET ke GMNT?, https://www.pergerakankebangsaan.com/003-Dari-GMT-ke-GMET/

[4] Julien Benda, The Betrayal of the Intellectuals, Trsl. Richard Aldington, The Beacon Press, 1955

Klaim-klaim dan Kegilaannya

gallery/claim