www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-5-2018

Hampir empatbelas tahun lalu Kuntowijoyo menulis opini di Kompas, judulnya: Mentalitas Bangsa Klien.[1] Apa kesamaan antara bangsa terjajah dan bangsa klien? Menurut Kuntowijoyo, keduanya sama-sama punya ketergantungan, satu pada penjajah, satunya lagi pada patron. Kuntowijoyo juga menulis, pada tahun 1945 kita sudah berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa mandiri. Kemudian kita terpuruk menjadi bangsa klien. Kalau salah urus, dari bangsa klien kita bisa jadi bangsa kuli, dari bangsa kuli menjadi “gelandangan di rumah sendiri” –istilah Emha Ainun Nadjib.[2]

Jumat 25 Mei 2018 saat berbincang dengan wartawan, Hakim Agung Artidjo Alkostar yang per 1 Juni akan pensiun, menyatakan kegeramannya pada koruptor. “Itu koruptor, cengengesan di televisi, dibuat-buat, lambaikan tangan. Ini koruptor seperti apa? Ini menghina rakyat Indonesia. Pada cengengesan, pada lambaikan tangan ...,” kata Artidjo.[3] Artidjo tidak hanya bicara soal kegeraman, tapi bisa juga kita lihat sedang bicara soal martabat, atau kalau pinjam kata Mahathir, ‘maruah’. Sedemikian parahkah martabat kita sehingga para koruptor itu tanpa sungkan sedikitpun cengengesan seperti digambarkan Artidjo di atas?

Atau coba lihat, adakah seorang presiden di planet ini yang lempar-lempar hadiah ke rakyatnya dari dalam mobil yang sedang berjalan, melalui jendela yang dibuka, sambil pecingas-pecingis lagi? Adakah? Sulit sekali menemukan presiden seperti itu, karena mereka –sebagian besar dari presiden-presiden di planet ini, tahu persis bahwa hal semacam itu akan melukai martabat, maruah rakyatnya. Rakyat yang sedang dipimpinnya. Hanya presiden plonga-plongo yang tidak paham soal itu. Atau presiden yang merasa diri sebagai sang raja.

Dalam dinamika politik riil, hubungan klien dan patron dalam konteks geopolitik global akan tidak terelakkan sebagai sebuah kemungkinan. Maka memaknai hal tersebut haruslah dalam sebuah ‘spektrum’. Katakanlah ada spektrum dengan bobot 0-10, dimana 0 adalah tanpa sedikitpun wujud patron-klien, sedang 10 adalah total terjerembab dalam hubungan patron-klien. Di ujung ekstrem, pada bobot 10 dalam contoh ini, itulah yang secara mudah bisa dikatakan: kacung.

Perjuangan ‘di seberang jembatan emas’ haruslah selalu di arahkan kepada sisi bobot 0, tanpa wujud patron-klien dalam konteks pergaulan politik internasional. Inilah sebenarnya esensi dari meneruskan perjuangan para pendahulu ketika mereka mempertaruhkan nyawa merebut ‘jembatan emas’, merebut kemerdekaan. Dan tidak ada yang akan mengatakan bahwa itu adalah hal mudah. Tidak ada. Maka untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi dan supaya tidak terjerembab dalam hubungan patron-klien yang total (= terjajah) para pendahulu sebenarnya sudah memberikan ‘tuntunan’ (dalam logika konstitusi: perintah) pada pengelola negara, seperti ada dalam Pembukaan UUD 1945, terutama alinea 4.

Jika kita mencoba menangkap ‘suasana kebatinan’ dari pembukaan UUD 1945 melalui berbagai tulisan para tokoh pergerakan yang tersebar di berbagai media atau buku atau pamflet, maka nampak sekali bagaimana rasa terjajah sebagai pengalaman itu pada akhirnya membuahkan suatu tuntutan adanya perubahan. Theodor W. Adorno dalam Negative Dialectics seperti disampaikan oleh Johannes Miller dalam Pengantar buku Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia (Edisi Bahasa Indonesia) berpendapat bahwa ‘manusia sebenarnya hanya bisa mengungkapkan dan merumuskan apa yang membuat ia menderita’. Jadi, titik pangkal segala pemikiran dan penilaian manusiawi adalah keadaan yang negatif, sebagai suatu kategori pengalaman. Ciri khas pengalaman tersebut adalah bahwa penderitaan pada dirinya sendiri mengandung tuntutan supaya diubah dan diatasi.[4]

Jika kita kembali pada problem awal tulisan ini, terkait dengan ‘bangsa klien’ seperti disinyalir oleh Kuntowijoyo, maka paling tidak dalam 4 tahun terakhir ini terusiknya rasa berdaulat sebagai satu bangsa merdeka rasanya sudah sampai pada tahap untuk ‘diubah dan diatasi’. Tentu kita rasakan bersama juga bahwa  ‘pengalaman negatif’ yang ujungnya adalah tuntutan supaya diubah dan diatasi ini akan mendapat tantangan serius berupa propaganda dan ‘pengalihan isu’. Juga pecah-belah, adu-domba, dan jika perlu, represi. Hal yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan situasi pra-kemerdekaan. Maka memang bukan jalan mulus, tetapi terjal dan bergelombang untuk ‘merubah dan mengatasi’-nya. Kalau pendahulu kita bisa, mengapa kita tidak? Kita bukan kacung! *** (30-5-2018)

 

[1] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/23/opini/1457232.htm

[2] Ibid

[3] https://kumparan.com/@kumparannews/artidjo-alkostar-banyak-koruptor-cengengesan-di-tv-menghina-rakyat

[4] Johannes Miller, Pembebasan Manusia Dari Penderitaan, Kata Pengantar buku Piramida Kurban Manusia (Peter L. Berger, ed. Indonesia), LP3ES, 1982, hlm. xv

Kacung