www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-5-2018

Me-label-i seorang politisi dengan label ‘pembohong’ di Indonesia sekarang ini menjadi serba repot. Bukan karena hate-speech atau pembunuhan karakter yang bisa berujung laporan ke pihak polisi, tetapi karena bingkai politiknya. Salah satu ‘keberhasilan’ era demokrasi pasca 1988 adalah meyakinkan publik bahwa politik itu kotor. Bahkan kotor yang hampir tanpa batas. Tentu, apalagi dari sudut realisme politik[1], politik akan disesaki oleh siasat, bahkan tipu-muslihat, tetapi nyaris tanpa batas?

Dengan ‘deep-frame’ politik yang seperti disebut di atas, maka bohong sangat bisa menjadi ‘normal-normal’ saja. Deep frame adalah istilah George Lakoff yang dekat dengan pengertian sudut pandang, atau bisa juga dikatakan bagaimana sesuatu itu sebenarnya dihayati. Secara tidak sadar kita telah dibawa pada penghayatan bahwa politik itu kotor, dan nyaris tanpa batas. Bagaimana kutu loncat ‘dibiasakan’ beraksi di depan mata, atau lihatlah contoh kecil saja, polah-tingkah-tutur dari seorang Ruhut, misalnya. Deep frame adalah tempat di mana surface frame akan bergantung, demikian tegas Lakoff. Bohong yang bagi banyak orang menyakitkan, tetapi ketika dia sebagai surface frame dan bergantung pada deep frame politik seperti disebut di atas, tiba-tiba saja menjadi berasa netral.

Bahkan tidak hanya netral, kemampuan berbohong di politik-pun secara tidak sadar bisa menempatkan orang pada posisi ‘terhormat’, sebagai yang lihai. Tetapi benarkah deep frame tidak bisa berubah? Dan jika deep frame berubah, maka surface frame (bohong dalam hal ini) bisa-bisa kehilangan tempat bergantung-nya. Bisa-bisa bohong tidak lagi berasa netral karena deep frame berubah. Politik memang kotor, tapi ada batas-batasnya misalnya. Inilah ketika berulang-ulangnya seseorang berbohong dan terungkap (berulang-ulang juga) kebohongannya, dan ketika dirasa melampaui batas, dia sebagai sosok pembohong dalam politik-pun kebohongannya akan dirasa tidak ‘netral’ lagi, tetapi terasa pahit dan menjijikkan, sama sekali tidak terhormat.

Sembari menunggu ‘pertempuran’ di ranah deep frame (antara [politik] kotor tanpa batas vs kotor dengan batas), ternyata ada yang bisa dilakukan supaya kebohongan tidak terus merajalela. Kita geser sedikit, dari ‘pembohongan’ ke ‘pengkhianatan’.

Dalam pemilihan, sebagian besar orang memilih atas dasar kepercayaan. Entah percaya akan apa-apa yang diomongkan saat kampanye, atau percaya pada orangnya, integritasnya. Tetapi ketika calon terpilih, dan kemudian ia mengingkari sebagian besar janji-janji kampanyenya, ia sebenarnya tidak hanya berbohong, tetapi lebih dari itu: ia mengkhianati kepercayaan. Sebenarnya ia adalah pengkhianat. Dan tidak ada sebuah bingkai-pun yang akan mengatakan bahwa pengkhianatan itu wajar-wajar saja. Pengkhianatan menjadi tidak berasa bukan karena deep frame ‘menetralisir’-nya, tetapi kerena pengkhianatan itu di’perhalus’ menjadi pembohongan, yang mana kemudian akan dinetralkan oleh deep frame yang (‘dipersiapkan’) sudah berkembang.

Maka, ini yang perlu dilakukan. Pertama, terus-menerus bongkar itu semua kebohongan. Kemajuan teknologi sekarang ini dapat memberikan kontribusinya. Kedua, mari kita sebut orang yang ingkar janji itu sebagai: pengkhianat. *** (22-5-2018)

 

[1] Lihat juga, https://www.pergerakankebangsaan.com/060-Realpolitik-dan-habitat-nya/

Dari Bohong ke Khianat

gallery/traitor