www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-5-2018

Charles Percy Snow (1905-1980) pada tahun 1961 dalam jurnal The Progressive menuliskan:

When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than ever been committed in the name of rebellion[1]

Menjadi patuh tentu tidak hanya monopoli terkait dengan kejahatan saja. Justru kepatuhan kita akan suatu hal sebagian besar tidak terkait dengan kejahatan. Mengapa kita patuh terhadap lampu merah, dan kemudian kita berhenti? Atau terhadap peta di tangan? Atau ‘patuh’ terhadap kebiasaan kita sehari-hari? Terhadap guru atau orang tua? Terhadap hukum atau perintah atasan?

Atau kita patuh karena tidak mau disalahkan? Patuh karena takut akan hukuman? Atau sebaliknya, patuh karena mengharapkan adanya imbalan? Patuh karena ingin juga diperlakukan sama? Jika kita lihat dari sudut pandang perkembangan moralnya Lawrence Kohlberg, sebagian besar dari kita memang patuh karena alasan-alasan di atas. Hanya sebagian kecil yang akan merasa mempunyai hak dan kemudian ikut aktif ‘otak-atik’ yang menjadi sumber kepatuhan. Dan lebih sedikit lagi yang sampai pada kesimpulan tidak sekedar patuh saja, tetapi benar-benar menghayati kepatuhan sebagai hal yang baik pada dirinya sendiri –bersinggungan dengan suara hati. Termasuk juga jika penghayatan sampai pada wujud sebaliknya, ketidak-patuhan karena berlawanan dengan suara hati.

Menjadi patuh, apapun alasannya, tidak ada yang salah dengan itu. Patuh sudah menjadi bagian dari daya untuk bertahan hidup, bahkan sejak manusia menapak evolusinya. Dengan ke-patuh-an pula kita bisa menjalani dan menikmati hidup. Tetapi mengapa C.P. Snow sampai menulis seperti kutipan di atas?

Stanley Milgram pada awal tahun 1960-an membuat suatu percobaan terkait dengan kepatuhan ini. Seorang ‘guru’ yang menjadi subyek penelitian, seorang ‘murid’, dan seorang ‘pengamat’ yang selalu dekat dengan ‘guru’. “Murid’ (seorang aktor) dihubungkan dengan kabel-kabel listrik (pura-pura), dan ‘guru’ akan memberikan pertanyaan-pertanyaan pada ‘murid’. Jika jawaban salah maka guru akan memencet tombol listrik untuk ‘menyetrum’ murid. Dari voltase rendah sampai tinggi. ‘Pengamat’ akan ‘menegur’ ‘guru’ jika ragu-ragu dalam ‘menyetrum’ ‘murid’ ketika ‘murid’ menjawab salah. Hasil dari percobaan ternyata mengejutkan. Sebagian besar dari subyek penelitian (‘guru’) ternyata mau memberikan ‘kejutan listrik’ ke ‘murid’  sampai di level yang ‘mematikan’, ditampakkan oleh ‘murid’ (aktor) dengan penampakan ‘sangat kesakitan’ dan menghiba-hiba untuk dihentikan tanya-jawab. Padahal, sebagian besar dari mereka itu adalah warga terdidik dan terhormat dalam masyarakat! Mengapa? *** (17-5-2018)


[1] Stanley Milgram, Obedience to Authority, An Experimental View, Tavistock Publication, Ltd, 1974, hlm. 2

Patuh

gallery/milgram_experiment_advertising