www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-5-2018

Berapa kali dalam setahun Jepang diguncang gempa bumi? Untuk gempa kecil-kecilan malah sudah dirasakan rutin. Terakhir kita bisa melihat dari tayangan televisi dan media komunikasi lainnya bagaimana di tahun 2011 gempa bumi dengan kekuatan 9 SR disertai tsunami menyapu Jepang. Kita bisa belajar dari Jepang, bagaimana respon Jepang, baik pemerintah maupun masyarakat dalam menghadapi bencana.

Aceh di tahun 2004 disapu tsunami akibat dari gempa berkekuatan 9,1 SR di Samudra Hindia. Respon Jenderal Ryamizard Ryacudu saat itu sebagai Kepala Staf Angkatan Darat adalah sama dengan respon bangsa Jepang ketika menghadapi bencana, fokus menangani dampak bencana, terutama yang terimbas pada manusia. Aceh saat itu salah satu kendala utama adalah akses ke tempat korban, dan Ryamizard beserta prajurit fokus membuka akses tersebut.

Setiap bencana adalah juga sebuah krisis, dan tidak bisa dicegah pula munculnya berbagai pandangan terkait dengan krisis tersebut. Bagi Milton Freidman, salah satu ‘guru’ neo-liberalisme, dalam Capitalism dan Freedom menulis,

only a crisis –actual or perceived, produced real change. When the crisis occurs, the actions that are taken depend on the ideas that are lying around. That, I believe, is our basic function: to develop alternatives to existing policies, to keep the alive and available until the politically impossible becomes politically inevitable”.[1]

Ketika Badai Katrina menyapu New Orleans dan sekitarnya di tahun 2005, kerusakan begitu luasnya. Dan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine The Rise of Disaster Capitalism (2007), menunjuk bagaimana kesesuaian antara keyakinan Milton Friedman seperti kutipan di atas dengan pasca bencana, di mana setelah itu ternyata program-program neo-liberalisme semakin tegak berdiri di New Orleans. Salah satunya adalah -misalnya, sebelum badai ada 123 sekolah yang dikelola pemerintah sebagai public school, tetapi setelah badai hanya tinggal 4.[2] Kaitan antara shock dan dengan keyakinan Milton Friedman seperti di atas misalnya, ditegaskan oleh Klein sebagai berikut:

“Believers in the shock doctrine are convinced that only a great rupture – a flood, a war, a terrorist attack – can generate the kind of vast, clean canvases they crave. It is in these malleable moments, when we are psychologically unmoored and physically uprooted, that these artists of the real plunge in their hands and begins their work of remaking the world.[3]

Sebuah shock, apapun itu penyebabnya, akan membuat kebanyakan masyarakat dalam situasi blank, tanpa pegangan dan bahkan tercerabut dari akar, atau istilah Naomi Klain, seperti ‘kanvas putih bersih’. Dan sayangnya, justru ada yang melihat ini sebagai kesempatan untuk ‘melukis sesuatu’ sesuai dengan kehendaknya dan berharap untuk dapat ‘mengubah dunia’ setelah itu.

Jepang dengan pengalaman panjang menghadapi berkali-kali gempa skala besar, baik masyarakat atau pemerintahnya, selalu fokus pada dampak bencana. Sikap hidup yang selalu menghargai mutu dan ketuntasan, serta rasa kebersamaan Asia Timur, ke-fokus-an itu membuat masyarakat Jepang tidak hanya berusaha sekuat tenaga menolong korban, tetapi juga mampu menahan diri misalnya, saat bantuan datang. Tidak berebut, tetap antre, tertib, dan tenang. Bagi Stoa, ada hal yang memang tergantung pada kita, dan ada yang memang di luar jangkauan, tidak tergantung dari kita. Fokus pada dampak adalah hal yang sebenarnya tergantung pada kita, sedang penyebab bencana, sering memang tidak tergantung dari kita. Tentu setelah berbagai dampak telah dapat diatasi dan bencana telah berlalu, segala daya akan dikerahkan untuk mengantisipasi jika bencana berulang. Itupun dengan dasar: meminimalkan dampak.

Berbagai Aksi Bela Islam yang berlangsung tertib dan bahkan setelah aksi kembali bersih lagi (!), adalah modal dasar yang disadari atau tidak, dapat membantu dalam melihat atau merespon berbagai hal, termasuk misalnya peristiwa meledaknya bom di beberapa gereja di Surabaya. Tertibnya aksi dan bersihnya setelah aksi adalah sebuah ethos tersendiri. Dan dengan itu juga, fokus pada dampak bom yang mengguncang rasa kemanusiaan itu bisa terbangun. Jika ada yang berpikiran bahwa bom di Surabaya itu adalah sebuah shock yang akan menyediakan sebuah ‘kanvas putih bersih’ dan kemudian bersiap diri menulis berbagai hal untuk kepentingan mereka sendiri –apapun itu, anggaplah itu adalah bagian yang tidak tergantung dari kita. Fokus pada dampak saat ini, terutama pada korban lebih penting dari semua itu. *** (13-5-2018)

 

[1] Milton Friedman, Captalism and Freedom, The University of Chicago Press, 40th Anniversary Edition, 2009, hlm. xiv

[2] Naomi Klein, Shock Doctrine. The Rise of Disaster Capitalism, Metropolitan Books, 2007, hlm. 5

[3] Ibid, hlm. 21

Belajar Dari Jepang