www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-5-2018

Di belakang revolusi-revolusi industri, dan juga bahkan revolusi pertanian sepuluh ribu tahun lalu adalah pelipat-gandaan daya manusia. Pada revolusi pertanian, penjinakan binatang mendorong pelipat-gandaan daya manusia. Pada revolusi industri pertama, kekuatan otot manusia dilipatgandakan melalui daya mekanisasi. Dilipat-gandakan lagi dengan daya elektrik pada revolusi industri kedua. Revolusi industri ketiga pelipat-gandaan melalui daya kognisi buatan via digitalisasi. Revolusi industri keempat melanjutkan dengan kedalaman dan keluasan yang begitu cepat merebak.

Dalam upaya pelipat-gandaan daya, terutama sejak revolusi industri, otomatisasi memegang peran penting. Dan jika kita lihat lebih dalam lagi, di belakang otomatisasi tersebut ada yang disebut sebagai mekanisme umpan-balik (feedback-mechanism). Apa yang menungkinkan mewujudnya mekanisme umpan-balik itu? Kita bisa bilang: informasi, informasi yang presisi dan akurat, baik informasi sebagai input maupun output di mana sebagian informasinya kembali menjadi input. Dan bahkan jika kita membayangkan sebuah DNA, dinamika di dalamnyapun tidak pernah lepas dari distribusi informasi.

Bagi kita manusia, dengan apa kita memahami, menyebar informasi? Tidak lain dengan bahasa. Di sinilah jika mau serius, katakanlah menghadapi Revolusi Industri 4.0, maka kita harus juga bertanya, bagaimana pendidikan bahasa kita? Pertama, bahasa jelas adalah bertutur, dan selanjutnya tidak sekedar bertutur. Beranikan anak-anak kita bertutur dengan percaya diri di depan teman-temannya. Bertutur dengan kaidah-kaidah yang baik? Dan selanjutnya bertutur dengan logika yang masuk? Mengapresiasi teman yang sedang bertutur?

Dalam era merebaknya ‘hiper-koneksi’ via internet, sosial media, haruslah kita memandang kesempatan tatap-muka adalah sebuah harta karun. Dan rugilah bagi anak-anak kita jika kesempatan tatap-muka ini banyak dihabiskan untuk mendengar satu arah dari guru-ke-murid, atau sibuk mempelajari hal-hal yang sebenarnya bisa lebih mudah dan cepat jika dipelajari di usia-usia yang lebih tua. Dalam dunia tutur tatap-muka, semua potensi diri perlahan akan mendesak keluar. Dan tidak hanya potensi diri, tetapi juga potensi sebuah relasi, relasi dengan teman-temannya.

Dengan ter-apresiasi-nya dunia tutur sejak anak-anak –tidak sekedar mengoceh saja, maka di kemudian hari jika ada tuntutan presisi dan akurasi –atau juga bisa dibilang pertanggung-jawaban, maka akan lebih mudah untuk ditingkatkan. Anak sudah berani bicara –percaya diri, dan bicara tidak seenaknya, serta siap bertanggung-jawab atas apa yang dikatakan.

Mari kita bayangkan, berapa tahun anak ada dalam pendidikan dasar yang merupakan wajib belajar itu? Katakanlah selama 9 tahun, dan bayangkan selama sembilan tahun itu secara terencana kita mendidik anak-anak kita untuk berani bertutur secara benar, dan siap bertanggung-jawab atas apa-apa yang dituturkan. Kita bisa berharap berkembangnya ketekunan dan kepercayaan diri serta terbangunnya logika, baik jika anak masuk jenjang vokasi maupun universitas. Apalagi jika ditambah dengan tuturan dongeng-dongeng yang berkualitas.

Tentu hal-hal di atas sifatnya jangka panjang. Dan pastilah pula perlu antisipasi ‘jangka pendek’ yang bisa didiskusikan dan dilaksanakan bersama. Tulisan ini hanya mengingatkan saja bahwa sebuah keseriusan akan satu hal, salah satunya adalah: sudahkah (berani) menyentuh hal-hal yang mendasar? *** (10-05-2018)

Revolusi Industri 4.0 dan Kita (2)