www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-5-2018

Menurut Arnold J. Toynbee dalam A Study of History, peradaban berkembang terutama melalui rute response dan challenge, ada tantangan, ada respon. Dalam membangun respon termasuk pelaksanaannya, sangat tergantung dari apa yang disebut Toynbee creative minorities. Anggota masyarakat kebanyakan lainnya akan meniru dan mengikuti creative minorities ini.

 Dari segi tantangan, jika tantangan terlalu besar atau kuat (maximum challenge) maka respon juga menjadi tidak optimum. Bahkan bisa menghancurkan peradaban. Ketika cerita mengenai terorisme melebar sampai pada bom panci dan struk pembelian, banyak yang kemudian garuk-garuk kepala. Perlawanan terhadap stigmatisasi ini kalau boleh dikatakan di sini: masih sebatas kasak-kusuk dan garuk-garuk kepala saja. Mungkin ditambah dengan geleng-geleng kepala. Terbayang di depan mata yang dihadapi adalah laras panjang dari Densus dan bahkan negara. Sebuah institusi yang punya hak tunggal atas penggunaan kekerasan –dan sah. Tetapi ketika –meminjam istilah dari twit Sujiwo Tejo, olok-olok muncul berasal dari sesama yang tidak pegang senjata, respon bukan lagi kasak-kusuk, tetapi sebuah aksi. Aksi yang semakin membesar: Aksi Bela Islam. Dan menggelindinglah bola itu. Dan tidak sekedar menggelinding, tetapi bergerak dengan ke-martabat-annya. Sebuah ke-martabat-an yang salah satunya diinisiasi oleh sebagian creative minorities, dalam hal ini Aa Gym dan santri-santrinya: bersih setelah aksi.[1]

Dalam kehidupan yang serius ingin membangun diri dengan menjauhi kekerasan, gerakan yang bermartabat ini jelas akan sulit dihentikan. Namun Toynbee juga mengingatkan sisi gelap dari creative minorities, yaitu ketika mereka berkembang menjadi sekedar ‘dominant’ minorities. Bagi yang ingin mencegah gerakan, menunggu kemungkinan creative minorities berubah menjadi sekedar ‘dominat’ minorities di mana kelanjutannya adalah pecahnya gerakan dari dalam sendiri, mungkin terlalu lama. Dan mungkin saja tidak terjadi. Maka salah satu jalan pintas adalah bagaimana jika satu-dua-tiga dari para creative minorities ini ‘diganggu’? Dan (diharapkan) segeralah anggota gerakan lainnya akan kehilangan figur yang ditirunya. Jika ini gagal? Hati-hati jika kemudian di benak mereka hanya muncul ide penggunaan kekerasan. Bersiap diri pada kemungkinan terburuk haruslah dipikirkan. Dan dengan kreatifitas dan ke-martabat-an yang sudah terbangun, mengapa takut? *** (08-5-2018)


[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/057-Bersih-Setelah-Aksi/

Minoritas Kreatif

gallery/toynbee