www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-4-2018

Jangan lupa bahwa kita hidup sekaligus di tanah-tanah yang paling Kristiani dan di tanah-tanah yang paling tak berperikemanusiaan”, demikian ditulis J. L. Segundo (1984), salah satu figur penting dalam perkembangan Teologi Pembebasan di Amerika Latin.[1] Teologi Pembebasan berkembang di Amerika Latin mulai sejak tahun 1950-an. Menurut G. Gutierrez, Konferensi Bandung tahun 1955 ikut juga memberikan inspirasi dan dorongan pada berkembangnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin ini.[2]

Salah satu faktor kunci gerakan Teologi Pembebasan adalah berkembangnya Kelompok-kelompok Basis Masyarakat Gereja (Comunidades Eclesiales de Base –CEB). Kelompok Masyarakat Basis ini adalah suatu kumpulan kecil kerukunan tetangga yang bermukim pada suatu kawasan pemukiman, perkampungan kumuh, desa atau dusun tertentu, yang bertemu secara berkala untuk membaca Injil dan membahasnya berdasarkan pengalaman nyata mereka sendiri.[3] Frei Betto, salah satu tokoh awal pengembang CEB, berkeyakinan bahwa CEB atau Kelompok Masyarakat Basis itu dapat ikut juga mengembangkan kesadaran politik para anggotanya.[4]

Mungkin tidak persis sama, tetapi strategi komunitas basis ini juga berkembang ketika Khomeini menumbangkan Shah Iran di akhir tahun 1970-an. Terkait dengan tiga modus komunikasi (face-to-face/man-to-man, man-to-mass, dan mass-to-mass), Alvin Toffler melihat bagaimana Khomeini memaksimalkan modus face-to-face dan mass-to-mass:

“[Khomeini] also combined First Wave Media -–face-to-face exhortation by his mullahs to the faithful-- with Third Wave technology –audio tapes with political messages, smuggled into the mosques, where they were played and duplicated on cheap tape recorders.[5]

Mesjid bagi perlawanan melawan Shah Iran saat itu telah menjadi komunitas aktif dimana modus tatap muka dan mass-to-mass (dulu belum ada internet, Toffler menunjuk bagaimana penggandaan pesan dengan tape recorder yang murah) berkembang dan mampu melawan hegemoni Shah Iran terhadap modus komunikasi kedua atau man-to-mass (surat kabar, radio, televisi).[6]

Terkait dengan Teologi Pembebasan di Amerika Latin, Gutierrez (1973) menegaskan bahwa teologi bukanlah merupakan kebijaksanaan, bukan pula pengetahuan rasional, melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil.[7] Refleksi kritis atas praksis[8] yang diterangi oleh Sabda Injil dan dilakukan di komunitas-komunitas basis ini kemudian semakin menegaskan posisi penting komunitas basis, atau menurut Pater Uriel Molina Oliu,

Komunitas Basis’ tidaklah sama dengan gerakan-gerakan kerasulan yang terbatas pada kegiatan kesalehan ‘keagamaan’. Gerakan-gerakan semacam itu tidak menghubungkan penghayatan iman dengan keprihatinan sejarah. ‘Komunitas Basis’ mencoba menjembatani jurang antara iman dan politik.[9]

Tujuan tulisan ini bukanlah ingin memperkenalkan tentang Teologi Pembebasan secara lengkap, tetapi lebih tentang salah satu jalan dalam mewujudkan penghayatan sebuah iman ketika berhadapan dengan realitas ketidak-adilan, ketimpangan, penindasan, ataupun kemiskinan yang kronis. Jadi ketika ada yang menyerukan dan mengusulkan supaya di Republik ada gerakan anti-politisasi mesjid, tiba-tiba saja tanda tanya besar terlempar tepat di depan pandangan mata. *** (24-4-2018)

 

[1] Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan. Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, LkiS, 2000, hlm. 35

[2] G. Guitterez, The Task and Content of Liberation Theology, (Trsl.  Judith Condor), dalam Christopher Rowland (ed), The Cambridge Companion to Liberation Theology, Cambridge University Press, 2nd ed, 2007, hlm. 21

[3] Michel Lowy, Teologi Pembebasan, INSIST Press, 1999, hlm.62

[4] Ibid, hlm. 85

[5] Alvin Toffler, Power Shift, hlm. 355

[6] Lihat, Ayatollah Khomeini dan Sebagian Pergerakannya, https://www.pergerakankebangsaan.com/006-Ayatollah-Khomeini/

[7] Wahono Nitiprawiro, hlm. 33

[8] Istilah “praksis” diterangkan sebagai kiprah manusia yang menciptakan perubahan konsep, yang pada gilirannya mengubah cara berkiprah kembali, demikian seterusnya. (Catatan kaki, Wahono Nitipawiro, hlm. 3)

[9] Ibid, hlm. 114

Teologi Pembebasan

gallery/liberation-theology-4-728