www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-4-2018

Dalam survei-survei, pastilah jumlah sampel jauh lebih sedikit dari jumlah keseluruhan komunitas yang sedang disurvei. Bisakah ini dipercaya? Survei-survei tersebut dilakukan dengan metode ilmiah yang ketat –clear and distinct, dan tentulah kita tidak bisa serta-merta mengatakan itu sama sekali ngibul. Perjalanan panjang sejarah, paling tidak dari sejak era Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1643-1727), meneliti sebagian bagian secara mendalam kemudian ditarik kesimpulan untuk hal yang lebih luas telah banyak memberikan kemajuan di banyak bidang.

Yang sering kita lupakan sebagai ‘penonton’ hasil survei adalah pertama, bahwa setiap survei dilakukan, ia mengandaikan sebuah kondisi ceteris paribus, hal-hal lain dianggap konstan. Yang kedua adalah, ketika survei itu dilaksanakan secara berulang dan dilakukan oleh banyak lembaga survei, perlahan tapi pasti itu akan menggeser perhatian kita terhadap demokrasi lebih mendekat pada gendang survei. Survei yang sebenarnya adalah merupakan bagian kecil dari dinamika demokrasi, perlahan kemudian menjadi faktor penjelas pokok dari keseluruhan demokrasi itu sendiri. Tulisan ini tidak membahas detail tentang survei, tetapi hanya ingin menegaskan, survei sebagai sebuah aktifitas berjejaring ia sebenarnya tidak bisa lepas dari aktifitas jaringan-jaringan lainnya.

Fritjof Capra dalam The Web of Life (1997), berdasarkan temuan-temuan baru pada level subatomik mengatakan:

“.. partikel-partikel subatomik bukan ‘benda’ melainkan saling-hubungan (interkoneksi) antara benda-benda, dan semua ini, pada gilirannya, adalah interkoneksi dari benda-benda lain, dan seterusnya. Dalam teori kuantum kita tidak pernah berakhir dengan ‘benda’ apapun; kita senantiasa berurusan dengan saling-hubungan (interkoneksi).[i]

Pemilihan umum-pun semestinya kita pahami sebagai sebuah jaringan yang terkoneksi dengan jaringan-jaringan lain. Bagaimana hubungan antara pemilihan umum dengan kegiatan jaringan di ranah ekonomi? Dengan ‘kelas dominan’ yang menguasai ranah ekonomi? Atau dengan konstelasi geopolitik regional, global? Atau masalah hubungan antar jaringan-jaringan ‘didalam’ ranah jejaring pemilihan itu sendiri? Bagaimana hubungan antara jaringan ‘figur publik’ kelas medioker tetapi suaranya keras (dan tidak tahu malu) dengan jaringan ‘kelas dominan’?

Cobalah kita bayangkan bagaimana logika jaringan ini bisa berhasil dengan sukses. Misalnya ada aktifitas jejaring dari, katakanlah: pertama, panitia (bahasa) gerak tubuh. Yang kedua, jejaring dari panitia puja-puji. Dan ketiga, jaringan media massa. Panitia gerak tubuh merancang dan membimbing-pelaksanaan: gerak turun ke got, naik kuda dengan pakai pakaian bak seorang kaisar, bawa gitar ke KPK, naik sepeda motor chopper, main tinju, dan masih banyaaak lagi. Dan ini dikoneksikan dengan jaringan puja-puji yang akan menarasikan secara gegap-gempita aksi rancangan panitia gerak tubuh. Dan terakhir, jaringan media massa mem-blow-up aksi kedua jaringan tersebut. Bahkan juga turut memberikan puja-pujinya. Hasilnya? Dahsyat! Masalahnya adalah, mereka lupa bahwa bagaimana-pun ketiga jaringan tersebut tidak lepas dari jaringan-jaringan lainnya, seperti jaringan yang akan menetaskan apa yang kadang disebut sebagai jejak digital, misalnya.

Mudah lupa, mudah bosan, dan mudah kasihan[ii] adalah sebuah kecenderungan yang lebih mungkin terjadi ketika menjalani hidup lebih pada sebuah sangkar. Ketika hidup dihayati sebagai bagian dari bermacam jejaring, lupa-bosan-kasihan menjadi hal yang tidak lagi mudah menggoda.

Janji kampanye adalah sebuah jaringan aktifitas saat kampanye. Dan dia tidak secara eksklusif berdiri sendiri terpisah dengan jaringan lainnya. Jika saat kampanye ia berkata A-B-C-D-E, tetapi saat ia pegang kekuasaan yang dilakukan adalah E-F-G-H, dan ketika kemudian ada yang bertanya bagaimana nasib A-B-C dan D, masalah tidak kemudian menjadi selesai ketika ia menjawab: ‘yang penting kerja-kerja-kerja, memberi contoh lebih baik dari pada teriak-teriak’[iii]. Dia lupa, jaringan jejak digital tidak akan pernah lupa mencatat bagaimana ia teriak-teriak A-B-C-D saat kampanye dulu. Termasuk juga jaringan yang menunjuk pada amanat konstitusi.

Jika melihat perkembangan teori evolusi terbaru, maka adaptasi bukanlah merupakan penjelas utama lagi dari teori evolusi. Ada yang menjelaskan bahwa perubahan evolusioner dapat dilihat dari hasil kecenderungan inheren kehidupan untuk menciptakan kebaruan, yang dapat disertai adaptasi ataupun tidak untuk mengubah kondisi-kondisi lingkungan.[iv] Jika hidup politik di NKRI diletakkan dalam perspektif teori evolusi yang baru ini, maka adaptasi masih perlu dikembangkan terkait dengan perkembangan atau penemuan-penemuan baru di ranah global, tetapi tidak terhadap laku dari ‘kelas dominan’ lokal. Diperlukan yang sama sekali baru, sehingga ugal-ugalannya kesenjangan di NKRI ini bisa diakhiri. *** (17-4-2018)

 

[i] Firtjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan. Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm. 49

[ii] Istilah Sukardi Rinakit untuk masyarakat melodramatik.

[iii] Lihat, ‘Digugu’ dan Ditiru, http://pergerakankebangsaan.com/040-Digugu-dan-Ditiru/

[iv] Firtjof Capra,  Jaring-Jaring Kehidupan,  hlm. 329

Demokrasi Cartesian

gallery/capra1