www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-4-2018

Apakah yang masih miskin bisa bicara keras menanggapi ungkapan Menteri Puan Maharani: “Jangan banyak-banyak makanlah, diet sedikit tidak apa-apa”? Ungkapan Puan ini dikatakan di Bali, Januari 2016 menanggapi permintaan Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk menambah beras jatah raskin terkait naiknya jumlah orang miskin di Bali yang salah satunya diakibatkan naiknya harga beras. Tiga-puluh tahun lalu, Gayatri Spivak pernah menulis sebuah esei berjudul Can Subaltern Speak? Bisakah masyarakat miskin yang disuruh Menteri Puan untuk diet ini juga termasuk subaltern? Jika subaltern dipahami sebagai ‘yang bukan elit’, jelas mereka salah satunya.

Y.B. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), menuliskan :

“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika”

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”[i]

Masalahnya, kadang kita sudah terlanjur begitu ‘dongkol’ terhadap kata, seperti kegundahan Mochtar Lubis 40 tahun (!) lalu:

“Apakah manusia Indonesia akan terus jadi manusia mantera, semboyan dan lambang, atau manusia yang bisa berbuat, melaksanakan, menciptakan, dan bukan manusia yang hanya bermain dengan kata-kata saja, yang lama-lama jadi hampa dan tiada bermakna sesuatu apa lagi, baik bagi yang memakainya, maupun bagi yang menerimanya?”[ii]

Menunjuk kutipan Mangunwijaya di atas, soal pentingnya retorika haruslah kita hati-hati dalam melihatnya. Retorika berkembang dalam pendidikan klasik di Barat yang didasarkan dengan apa yang disebut dengan trivium. Trivium adalah bagian dari liberal art (pendidikan berdasar kemampuan berpikir, selain trivium masih ditambah lagi dengan quadrivium) terdiri dari grammar, logika, dan retorika. Retorika memang merupakan yang utama dalam trivium, tetapi ia harus didukung penuh oleh grammar dan logika. Logika erat hubungannya dengan ‘the thing-as-it-is-known’. Grammar dengan ‘the thing-as-it-is-symbolize’, dan retorika erat dengan ‘the thing-as-it-is-communicated’.[iii]

Enambelas tahun lalu, dalam Kompas 10 Oktober 2002 J.I.G.M. Drost menuliskan apa-apa yang diharapkan oleh universitas-universitas di Jerman dari calon-calon mahasiswanya. Menurut Drost, tuntutan itu dapat dipadatkan dalam satu kata, hochschulreife. Semua calon harus mencapai hochschulreife, artinya: kematangan, baik intelektual maupun emosional. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa.[iv] “Setiap mahasiswa yang ingin studi kimia harus mempunyai nilai tinggi untuk matematika dan bahasa Jerman. Nilai baik dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak begitu penting nilai-nilai fisika dan kimia,” demikian kata salah seorang rektor univertas di Jerman seperti dikutip Drost.[v]

Gejala gonta-ganti kurikulum, terutama di pendidikan dasar, dan juga beban kurikulum yang tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap berkembangnya grammar, logika, dan terutama kemudian retorika di pendidikan dasar haruslah dipandang sebagai salah satu kemungkinan adanya ‘subalternisasi’. Ujung dari ini semua adalah tidak berubahnya situasi dimana yang dominan tetaplah selalu dominan. Atau Spivak menegaskan: “Subalternisasi selalu terjadi ketika yang kaya semakin kaya dan yang miskin dari yang termiskin menjadi semakin miskin”.[vi] *** (14-4-2018)

 

[i] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[ii] Mochtar Lubis,Manusia Indonesia, Sebuah pertanggungjawaban, Inti Idayu Press, Jakarta, 1986, cet-7,  hlm. 37

[iii] Sister Mariam Joseph, The Trivium. The Liberal Art of Logic, Grammar, and Rhetoric. Understanding the Nature and Fuction of Language, Paul Dry Books, Philadelphia, 2002, hlm. 9

[iv] J. Drost, SJ., Dari KBK sampai MBS, Esai-esai Pendidikan, Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 25

[v] Ibid, hlm. 26                                          

[vi] Maria Hartiningsih, Ninuk Pambudy, Membaca Gayatri Chackravorty Spivak , Kompas 12 Maret 2006, http://kunci.or.id/articles/membaca-gayatri-chakravorty-spivak/

 

Kita dan Kata

gallery/spivak

Gayatri Spivak

Gayatri Spivak