www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Kapitalisme Guanxi

12-4-2018

Alvin Toffler terkenal dengan triloginya: Future Shock (1970), Third Wave (1980) dan Power Shift (1990). Manuel Castells juga terkenal dengan triloginya: The Rise of Network Society (1996), The Power of Identity (1997) dan End of Millennium (1998). Kalau Toffler menekankan bagaimana kekuatan pengetahuan khususnya informasi berkembang dan kemudian akan mendominasi kehidupan, Castells melihat bahwa tidak hanya mendominasi tetapi juga akan membentuk masyarakat baru, network society. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai ‘kapitalisme guanxi[1], istilah yang ditulis Castells dalam End of Millennium.

Ketika China mulai menerapkan “Politik Pintu Terbuka” sebagai akibat dari desakan Gelombang Globalisasi II yang dimulai sejak 1974 (dan juga desakan ‘program’ neo-liberalisme), pengusaha-pengusaha dari Hongkong dan Taiwan menangkap kesempatan dan mulai melakukan desentralisasi produksi mereka. Di Delta Sungai Mutiara daerah Guandong China Selatan-lah pertama-tama tempat mereka menaruh investasinya. Untuk meminimalkan resiko investasi, mereka menggunakan ‘jaringan guanxi’ mereka, khususnya dengan mencari orang-orang yang asalnya sama dengan mereka, atau melalui hubungan pertemanan, dan juga melalui kesamaan dialek dalam bahasa[2].

Tentu praktek semacam guanxi ini tidaklah monopoli dari etnis China saja, tetapi luasnya diaspora dan kemampuan birokrasi pemerintah China (lokal) menjadikan praktek guanxi ini mampu mendorong keberhasilan pertumbuhan ekonomi China. Kata-kata Deng Xiao Ping seperti memprediksi hal ini: “When our thousands of Chinese students abroad return home, you will see how China transform itself”.[3] Dan penerus Deng Xiao Ping-pun mampu mengelola ‘pulang’nya modal dalam hal ini. Mengutip Hsing, Castells menyebut kemampuan pemerintah lokal penerus Deng tersebut sebagai “bureaucratic entrepreneurs[4].

Jika kita melihat dari jauh, guanxi ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk modal sosial (social capital). Dan sebagai modal sosial, menurut  Thomas Sander,  maka ia akan melibatkan trust, reciprocity, information, dan cooperation dalam jaringan sosialnya. Trust dan reciprocity, kepercayaan dan ‘perlakuan timbal balik yang sama terhadap dua atau beberapa pihak’[5] jauh di lubuk dasarnya adalah masalah kehormatan. Dan untuk menjaga kehormatan dipraktekkan, selain reward (terlebih reward sosial) penting juga adanya sangsi, bukan melalui pasal KUHP, tetapi lebih pada sangsi sosial. Dan bagaimana sangsi menjadi tetap efektif sangat tergantung dari yang punya ‘modal sosial’ (Bourdieu-an) tertinggi, misalnya ‘kepala suku’ atau yang dituakan.

Tujuh tahun lalu dalam artikel “Jalan ‘Merusak’ Ekonomi”, Kompas menulis salah satunya tentang adanya dominasi warga keturunan China terhadap perekonomian di Nusantara.[6] Jika ada yang bilang kondisi ini adalah masalah bagaimana jiwa entrepreneur berkembang, itu barulah maksimal sepertiga dari masalah. Dua masalah lainnya adalah masalah politis dan sosial.

“Bureaucratic entrepreneurs” seperti disebut Castells di atas adalah ‘masalah teknis’ yang pada dasarnya adalah politis sifatnya. Politis dalam arti langsung berhubungan dengan pembuat kebijakan. Potensi dalam mengembangkan pertanian jelas akan sampai pada kesimpulan optimis kita terkait swa-sembada beras, misalnya. Tetapi ketika si-pembuat kebijakan lebih berpihak pada komplotan yang banyak mengambil untung dari impor beras, maka potensi itu-pun akan menjadi sangat susah payah untuk mewujud faktual. Castells pastilah tidak mungkin akan menyebut si-pembuat kebijakan seperti ini sebagai “bureaucratic entrepreneurs”. Demikian pula jika si-pembuat kebijakan lebih memilih pencitraan dengan bagi-bagi sertifikat tanah dari pada mengupayakan dengan kesungguhan hati untuk masalah redistribusi lahan.

Bagi kelompok yang begitu ngebet memenangkan pemilihan, kadang bisa jatuh pada pemompaan janji-janji setinggi langit. Mereka lupa, ini tidak hanya masalah tipu-menipu, tetapi lebih dari pada itu hal tersebut dapat mengakibatkan retaknya bangunan modal sosial. Trust, kepercayaan dan resiprositas adalah masalah penting di banyak negara, misalnya Jepang, Jerman, dan lainnya. Mereka para elit sangat sadar akan pentingnya adanya dia dalam keseluruhan bangunan masyarakat. Maka jika banyak kalangan kemudian menunjuk janji-janji Joko Widodo saat kampanye pilpres 2014 dan dikaitkan dengan realisasinya itu bukanlah mengada-ada. Ini adalah sebuah kerinduan untuk lebih mengangkat hidup bersama menjadi lebih bermartabat, lebih terhormat.*** (12-4-2018)

 

[1] Manuel Castells, End of Millennium, Blacwell Publisher, 2nd ed, 2000, hlm. 313

[2] Ibid, hlm. 316

[3] Forbes, vol 176, ed. 7-13 (2005), hlm. 79

[4] Castells, hlm. 317

[5] JS Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, hlm. 304

gallery/castells

Manuel Castells