www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

'Digugu' dan Ditiru

7-4-2018

Siswono Yudo Husodo dalam Kompas, 25 November 2015 menulis artikel dengan judul “Guru, ‘Sing Digugu lan Ditiru’”. Dalam artikel tersebut Siswono juga mengkaitkan dengan Revolusi Mental yang diusung oleh Joko Widodo, baik selama kampanye maupun setelah ditetapkan sebagai Presiden. Terkait dengan revolusi mental ini, Joko Widodo selaku Presiden dihadapan beberapa budayawan, 6 April 2018, mengatakan: “.... Saya kira contoh lebih baik daripada kita berteriak. Memberikan contoh akan lebih baik daripada kita berteriak. Bagaimana bekerja yang baik, bagaimana integritas yang baik, bagaimana  nilai etos kerja yang baik saya kira itu yang nanti ke depan akan kita gerakan”.[1]

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa yang dikatakan Jokowi di atas mestinya tidak ada yang dengan serta-merta akan mengatakan bahwa itu salah. Pada akhirnya segala tindakanlah yang akan orang nilai, bukan kata-katanya. Seorang peraih Hadiah Nobel, seorang ahli nuklir, Percy W. Bridgman -seperti dikutip oleh  Mochtar Lubis, mengatakan: “makna sebenarnya dari sesuatu kata hanya dapat ditemukan dengan meneliti apa yang dilakukan seseorang dengannya, dan bukan dengan apa yang dikatakannya dengan kata tersebut”.[2]

Kalau kita telisik lebih dalam lagi terkait dengan konteks kutipan Mochtar Lubis di atas maka kita bisa melihat bahwa konteks kutipan adalah tidak lepas dari ‘kesukaan’ kita akan hal-hal serba simbolik, semboyan, lambang. Kata-kata juga sebuah simbol, dan jelas bisa juga mewujud sebagai jargon kosong. Bahkan kata-kata yang diucapkan oleh Jokowi di atas-pun bisa berubah menjadi jargon, simbol belaka.

Jika kita lihat lagi pendapat Bridgman di atas, bukanlah maksud Bridgman menghilangkan kata, tetapi lebih pada bagaimana hubungan antara kata (A misalnya) dan tindakan (terhadap kata A)-lah yang ingin ditegaskan. Janganlah kita mudah terpana dengan kata (A misalnya), tetapi lihatlah apa yang dilakukan seseorang dengan kata-kata ( A ) yang meluncur keluar dari mulutnya itu. Jadi ini adalah masalah kata dan tindakan, bukan sekedar kata saja, maupun tindakan saja.

Ketika Margaret Thatcher membanting buku karangan Hayek dan berteriak lantang: “Ini yang kita percayai!” di depan pengurus partai lainnya, kita bisa melihat bagaimana konsistensi Thatcher dalam kebijakan-kebijakannya saat ia menjabat PM Inggris. Kita boleh tidak suka dengan kebijakan-kebijakan Thatcher tetapi tetap saja kita musti angkat topi karena antara kata dan tindakannya adalah sebangun. “Memberikan contoh akan lebih baik daripada kita berteriak” itu tidak berarti terus melupakan apa yang pernah diteriakkan dulu saat kampanye, misalnya.  

Seseorang ‘ditiru’ karena hal-hal baik telah dikerjakan, ‘digugu’ karena terbukti dari kata-kata yang meluncur juga itulah tindakan-tindakannya. Maka benarlah kutipan pepatah yang dikutip oleh si Bung: “Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijmen wat man is[3].*** (7-4-2018)


[1] http://setkab.go.id/presiden-jokowi-revolusi-mental-bukan-jargon/

[2] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia. Sebuah Pertanggungjawaban, Penerbt Inti Idayu Press, 1986, cet-7, hlm. 36

[3] Soekarno, Di Bawah bendera Revolusi II, Yayasan Bung Karno, 2005, cet-5, hlm. 615. Terjemahan dari Doni Koesoema, Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger, Grasindo, 2009,  hlm. 145:  “Manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hati, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya

gallery/silaturahmi-budayawan
gallery/jkw