www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Ni yao caifu ni xian zuo lu

1-4-2018

"Tampak sekali, meski ada dominasi warga keturunan China terhadap perekonomian di Nusantara ini, ironisnya kita tak belajar dari pepatah kuno China, yang berbunyi, ”Ni yao caifu ni xian zuo lu” atau bila ingin makmur bikin jalan dulu".[1] Dalam artikel ‘Jalan “Merusak” Ekonomi’ yang ditulis Kompas tujuh tahun lalu, dalam sudut pandang tertentu akan  memberikan paling tidak dua hal. Pertama, pentingnya pembangunan, dalam hal ini jalan. Kedua, adanya dominasi keturunan China dalam perekonomian Indonesia. Tapi dari sudut pandang lain, mungkin apa yang diangkat Kompas di atas adalah masalah pentingnya infrastruktur saja. Pentingnya membangun jalan, dan tidak lainnya.

Jika bermacam masalah di Republik dikumpulkan, maka akan muncul sebaran puzzle terserak di depan mata. Kita meyakini bahwa seorang pemimpin terpilih dipilih untuk menyusun kepingan-kepingan puzzle tersebut. Tetapi kadang kita melupakan, dalam perjalanan bisa terjadi satu-dua keping puzzle sengaja disembunyikan, atau bahkan gambar akhir dari tersusunnya keping-keping puzzle tersebut (yang ada di benak pemimpin terpilih) ternyata bukanlah gambar Indonesia seperti di amanatkan UUD kita.

Gambar Indonesia seperti apakah yang ada di benak pemimpin jika ia memutuskan membuat kereta api super cepat dari pada mengoptimalkan kereta api ekonomi bagi rakyat strata bawah? Atau bukan memprioritaskan pembangunan jalan pada daerah padat industri, tetapi justru pada jalan kalau itu dijual maka akan untung? Maka “ni yao caifu ni xian zuo lu” atau bila ingin makmur bikin jalan dulu bukanlah resep generik langsung siap pakai, tetapi dalam kebijakannya akan melibatkan bagaimana gambar akhir tentang Indonesia yang ada dalam kepala si-pembuat kebijakan, dalam hal ini pemerintah.

Apa yang tertulis dalam Undang Undang Dasar 1945, lebih dari sebuah kewajiban, tetapi adalah perintah. Dalam Pembukaan UUD 1945, pemerintah negara Indonesia diperintahkan untuk: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[2] Perintah konstitusi ini akhirnya akan mengecek apakah kebijakan-kebijakan pemerintah atau bagaimana pemerintah menyusun sebaran puzzle-puzzle masalah Republik sudah benar. Tidak hanya kebijakan dan outcome-nya saja yang akan di-cek, tetapi secara tidak langsung juga “gambar akhir” yang dibayangkan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan tersebut. Pada ujungnya, dalam kebijakan-kebijakannyalah “gambar akhir” yang ‘tersembunyi’ dalam benak  pemerintah itu akan nampak, bukan pada ucapan di kampanye atau kontrak politik saat kampanye.

Maka kita sampai pada bagaimana kita melihat “perintah” UUD 1945 itu kepada pemerintah. Ini akan menjadi penting karena kita akan memilih siapa-siapa yang akan duduk di pemerintahan. “Perintah” yang ada di alinea ke empat tersebut sudah waktunya kita hayati (kembali) sebagai satu keseluruhan dalam Pembukaan UUD 1945.

“Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” harus dihayati sebagi tekad yang muncul di atas luka-luka akibat penjajahan panjang. Penjajahan kalau kita rasakan menjadi bagian penting dalam Pembukaan. Akibat lanjutan penghayatan seperti ini akan memberikan dampak semakin tumbuhnya ‘sense of  urgency” terhadap segala bentuk penjajahan, entah itu penjajahan bentuk lama maupun baru. Dan sejarah-pun memperlihatkan pada kita semua, tekad  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak akan pernah lepas dari bagaimana dinamika dunia sekitar kita, termasuk nafsu dari ‘dunia di luar kita’ untuk menguasai Republik yang begitu kayanya.

Sudah begitu lama kita asyik dan bahkan sambil asyik bertikai menyusun puzzle-puzzle tersebut sampai lupa bagaimana gangguan yang berasal dari luar diri kita. Ganggunan yang bahkan tidak sungkan mengotak-atik “gambar akhir” sebuah puzzle. Kita sebenarnya tahu, paham, tetapi sayangnya belum menyentuh ‘sense of urgency’ kita. Kita tahu tapi belum sampai menghayati dan menjadikan sebagai paradigma bersama.

Maka #2019 ganti presiden haruslah dipandang bukan sekedar ganti presiden, tetapi lebih dari itu pergeseran paradigma. Pergeseran paradigma dimana kita akan menjadi lebih melihat dunia sekitar kita tidak lagi dengan mata lugu apalagi melihat dunia sekitar kita dengan plonga-plongo. Dengan cara pandang dan penghayatan baru ini, sebaran puzzle Republik kita susun bersama. Satu demi satu. *** (1-4-2018)

[2] Lihat Pembukaan UUD 1945, alinea 4

gallery/puzzle