www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-3-2018

[ Ini terjadi pada permulaan abad ke-20. Tempatnya: Tegal. Oleh pangreh-praja wilayah Tegal mulai dipergunakan pesawat telpon. Pangeran Tegal – yaitu bupatinya – memohon kepada asisten residen agar kabupatennya dibebaskan dari pesawat tersebut. Waktu residen bertanya, mengapa ia tidak menghendakinya, bukankah pesawat itu menyenangkan dan memudahkan urusan. Pangeran ini menjawab:”Saya akui, tapi kalau sekiranya saya bicara dengan seorang asisten wedana dengan pesawat itu atau seorang amtenar lain yang sederajat dengan itu, saya tidak bisa lihat, apakah ia menyembah atau tidak.”] [i]

 

Telegraf yang ditemukan tahun 1838 dan telepon tahun 1875 merupakan lompatan besar ke depan dalam hal evolusi teknologi komunikasi.  Kurang dari duapuluh tahun sejak ditemukan, pada 1856 sarana telekomunikasi berupa telegraf elektro magnit telah menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Dua tahun kemudian dibuka saluran Jakarta-Surabaya dengan cabang Semarang-Ambarawa. Sejak itu jasa telegraf dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tahun 1859, panjang saluran telegraf berkembang hingga mencapai 2.700 km dan dilayani oleh 28 kantor telegraf. Sementara itu, di sepanjang rel kereta api kemudian didirikan tiang-tiang telegraf. Di lain pihak, kabel bawah laut telah terpasang antara Jakarta dan Singapura tahun 1870, setahun kemudian  diikuti dengan pemasangan kabel bawah laut dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Port Darwin).[ii]


Hubungan telepon lokal digunakan pertama kali pada 16 Oktober 1882 (tujuh tahun sejak dikembangkan tahun 1875) dan diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Jaringan telepon tersebut membentang antara Gambir dan Tanjung Priok di Batavia, disusul dua tahun kemudian hubungan telepon di Semarang dan Surabaya. Perusahaan swasta saat itu mendapat izin konsesi selama dua puluh lima tahun. Tahun 1905 jumlah perusahaan telepon di Hindia Belanda menjadi 38.


Khusus untuk hubungan telepon interlokal, perusahaan Intercommunaal Telefoon Maatschappij memperoleh konsesi selama dua puluh lima tahun untuk hubungan Batavia-Semarang, selanjutnya Batavia-Surabaya, disusul Batavia-Bogor, dan Bandung-Sukabumi. Pada tahun 1900, jalur telepon terpasang antara Batavia, Cirebon, Tegal dan Pekalongan; dan antara Semarang dengan Surakarta. Dalam pengembangan jaringan telepon ternyata perusahaan-perusahaan telepon itu hanya membuka hubungan telepon di kota-kota besar yang mendatangkan untung sehingga penyebaran jaringan telepon tidak merata. Akhirnya dalam tahun 1906 setelah jangka waktu konsesi berakhir, semua pengusahaan jaringan telepon diambil alih dan dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst, kecuali jaringan telepon Perusahaan Kereta Api Deli (Deli Spoor Maatschappij, DSM). Sejak saat itulah pelayanan jasa telekomunikasi dikelola oleh pemerintah secara monopoli.[iii]

 

Hubungan telpon pertama antara koloni dan metropolnya, Belanda, dibangun pada tahun 1928. Ini merupakan transformasi luar biasa bila diingat bahwa satu abad sebelumnya, seorang Gubernur Jendral masih harus menunggu paling tidak tujuh atau delapan bulan untuk memperoleh jawaban dari menterinya.[iv]

 

Tahun 1918, komunikasi nirkabel pertama diwujudkan antara Bukit Malabar di atas Bandung Jawa Barat, dengan Blaricum, di Belanda. Pemancar Malabar di atas Bandung adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda. Ia memiliki antena tertinggi di Asia tenggara. Tahun 1924, ANETA, agen berita Hindia Belanda mendapat konsesi untuk menerima berita dari Eropa melalui radio. Sejak tahun itu, “dari jam 6 pagi sampai jam 1 siang, ANETA memancarkan hampir tanpa berhenti; pesan-pesan radionya diterima di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, Manado, Balikpapan, Banjarmasin, Medan, Palembang, Padang dan Kotaraja. Maka, sebuah pandanganpun mulai berkembang dan terbangun dengan cepat: sejauh sinyal itu dapat didengar, sejauh itulah Hindia Belanda.[v]

 

Dalam tahun 1934, sekelompok penari Jawa yang paling gemulai menari di depan ratu Hindia Belanda dan Belanda, Wilhelmina, di salah satu aula audiensinya di Den Haag, Belanda. Para penari itu diiringi gamelan, yang disiarkan, tanpa kabel, dari istana Sultan Yogyakarta, di Jawa Tengah.[vi] Peristiwa ini, meskipun radio sudah dikenal saat Sumpah Pemuda tahun 1928, tetapi membayangkan ada sekelompok penari menari di negeri Belanda dengan secara langsung diiringi gamelan yang ditabuh di Yogyakarta, masih merupakan suatu yang luar biasa. Bagi yang terlibat di tahun 1908, pasti peristiwa tersebut lewat dalam alam pikirpun tidak ada sama sekali. *** (Dicuplik dari Seratus Tahun Kesunyian, Menyongsong satu abad Kebangkitan Nasional: Refleksi di Hari Sumpah Pemuda, Okt 2007)

 

 

[i] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, 2003

[ii] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 1, 2005

[iii] Widia Yurnalis, Napak Tilas Industri Telekomunikasi Indonesia, http://www.sda-indo.com/sda/features/psecom,id,1408,nodeid,21,_language,Indonesia.html? HPSESSID=5430dd130721886e12d765e3a4426005

[iv] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 1, 2005

[v] Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land, 2006

[vi] Ibid

Telegram, Telepon, Radio di Nusantara

gallery/radio