www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-3-208

Film pertama kali di-pertunjukan untuk umum dengan cara membayar (paying audiences) berlangsung di Grand Cafe - Boulevard de Capucines, Paris (Prancis) pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Auguste (1862 - 1954) dan Louis (1864 - 1948) Lumière. Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (February 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896 - 1897), Korea (1903) dan di Itali (1905).  Di Indonesia sendiri, film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Prancis. Pada masa itu, film disebut "Gambar Idoep". Dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900) tertulis:


" Besok hari Rebo 5 Desember Pertoendjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50. "


Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yg menggambarkan perjalanan ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pemasaran film-film ketika itu cukup menarik. Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yg terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP). Kelas III kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi. Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop dimasa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.


Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang di-impor dari Amerika. Film impor ini berubah judul kedalam bahasa Melayu. Sementara film-film produksi pemerintah kolonial saat itu masih berupa film dokumenter. Di negara lain (barat) film cerita sendiri sudah mulai di produksi antara tahun 1902 - 1903. The Life an American Fireman (1903) adalah film cerita Amerika pertama yg dibuat oleh Edwin S. Porter (1869 - 1941). La Presa di Roma dibuat di Italy oleh Filateo Alberini tahun 1905. Kemudian India juga membuat film cerita pertama mereka yaitu Rajah Harisandra tahun 1913. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah bioskop meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Di Medan pun kemudian muncul bioskop yang pertama di luar pulau Jawa. Surat kabar Keng Po memuat sebuah iklan yang menyebutkan bahwa pada tgl 10 September 1923 akan diputar film penerangan tentang pos dan telegraf di kota Medan. Pada masa ini, bioskop-bioskop terbuka lebih memiliki daya tarik tersendiri. Biasanya terletak di lokasi-lokasi pasar malam. Daya tarik film dan bioskop ini mulai dimanfaatkan utk kepentingan-kepentingan sosial.


Central Bioskop di Jatinegara pada tahun 1923 menyumbangkan 25 % dari penjualan karcis untuk pensiunan militer. Pada tahun ini juga mulai masuk film-film dari China (Tiongkok) melalui China Moving Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yg bercerita tentang revolusi di China, dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Film-film dari China ini mulai di-banding-bandingkan dengan film produksi Amerika (Hollywood). Satu hal yang agak unik adalah usaha promosi film yang dilakukan oleh pemilik bioskop melalui surat kabar seringkali lebih menonjolkan kemajuan fasilitas bioskop tempat film itu diputar. Seluruh film yang diputar hingga tahun tersebut masih berupa film bisu.

 

Film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, dibelahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. De Locomotief no. 70 (30 Agustus - 1 September 1926) menulis," Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan disuatu tempat yg dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah barat kota Padalarang ". Kemudian dalam edisi no. 71 (2 - 4 September 1926) ditulis," Film ini, tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian".


Film Loetoeng Kasaroeng ini diputar di Elita dan Oriental Bioskop (Majestic) - Bandung, tanggal 31 Desember 1926 - 6 Januari 1927.  Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih diproduksi oleh perusahaan sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang memproduksi Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) memproduksi Setangan Berloemoer Darah


Pada tahun ini, film-film bersuara mulai beredar di Indonesia. Bahkan film dari Hollywood sudah menggunakan teks melayu. Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota kecil seperti Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.[i]

 

Pesawat televisi pertama di dunia diciptakan oleh Vladimir Kosma Zworykin tahun 1923. Siaran televisi pertama dilakukan oleh John Logie Baird di Amerika tahun 1925, namun ini hanya merupakan siaran percobaan. Tahun 1930, siaran televisi untuk umum yang pertama di dunia dilakukan di Amerika dan sejak itu televisi menjadi bagian kehidupan sehari-hari mereka. Namun siaran televisi pada masa itu hanya bisa dilakukan secara langsung saja. Belum ada alat perekam untuk siaran tunda.

 

Mengenai televisi ini, ada yang menarik, meskipun televisi tahun 1928 belum masuk Indonesia, Soeloeh Indonesia Moeda, no 9 (Agustus 1928) menuliskan : “Persis! Oh, betapa aku merindukan dalam hatiku saat itu, suatu hari di masa depan, ketika sesama warga negara nasionalis revolusionerku, sekedar dengan diam-diam, dengan bantuan sarana paling modern, akan menonton di televisi bagaimana imperialis terakhir menggulung tikarnya-”[ii] *** (dicuplik dari: Seratus Tahun Kesunyian, Menyongsong satu abad Kebangkitan Nasional –Refleksi di Hari Sumpah Pemuda, Okt. 2007)

 

 

[ii] Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land, 2006

gallery/film

Film dan TV di Nusantara