www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Makna retorika pada awalnya memang positif. Retorika tidak pernah lepas dari upaya pencarian kebenaran. Kata Yunani untuk “kebenaran” adalah “aletheia”, berarti “menyingkap selubung”. Demikianlah realitas baru tercapai bila selubung data dan fakta disisihkan.[1]  Maka, retorikapun juga bermakna sebagai upaya menyingkap selubung-selubung fakta sehingga fakta atau realitas bisa dilihat dengan lebih jernih. Y.B. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), menuliskan :

“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika”

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negative, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”[2]

 

Ketika merumuskan retorika yang benar, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologik khalayak. Upaya ini dilanjutkan oleh Aristoteles.[3]

 

Mengenal “jiwa” pendengar menjadi satu factor penting dalam retorika, karena tujuan retorika adalah memancing dan mengerahkan reaksi tertentu dalam diri pendengar atau teman bicara. Untuk itu jenis bahasa yang digunakan di sini adalah jenis bahasa yang kuat.[4] Bahasa yang kuat karena bahasa tersebut sudah menjadi bagian dari suatu logika yang kuat, yang dibangun dan disusun dalam bentuk yang kuat.[5]

 

Retorika juga mengandaikan penghayatan dan penguasaan suatu masalah atau pengalaman  secara intens dan meresap, sehingga dari penghayatan tersebut suatu ide, gagasan atau pengalaman akan menjelma menjadi sesuatu yang lain yang khusus: dalam puisi ia menjelma menjadi keindahan, dalam retorik menjadi kekuatan, yaitu kekuatan untuk menaklukkan dan memerintah orang lain. Dalam puisi, persoalannya adalah ekspresi diri si pembicara. Dalam retorik sebaliknya. Retorik akan banyak memberikan perhatian kepada para pendengar. Yang penting dalam retorik bukan saja pikiran dan perasaan pembicara, melainkan (dan terutama) apa yang dipikirkan dan dihayati oleh para pendengar[6]

 

Jika diamati lebih dalam mengenai perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan maka salah satu pilar utamanya adalah retorika. Para pemimpin-pemimpin gerakan perjuangan ini mampu mengembangkan kemampuan retorikanya dengan berhasil menyelami “jiwa” pendengarnya. Retorika yang muncul tidak lepas dari pengalaman yang intens dan meresap karena keterlibatannya  dalam perjuangan. Kata-kata seperti misalnya, ah itu kan cuma retorika belaka, tidak muncul dikalangan pendengarnya. Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 bisa dimaknai juga sebagai awal kebangkitan retorika. Selubung fakta-data-realitas perlahan mulai dibuka melalui bangunan bahasa-kata dan logika yang kuat .

 

Dalam suatu retorik yang baik, pembicaranya akan berusaha memahami, menghayati dan mengungkapkan kembali apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pendengarnya. Menjadi hal penting mengenai kesatuan pikiran dan kesatuan perasaan antara pembicara dan pendengarnya. Dalam retorik, yang hendak dicapai adalah Gleichschaltung, penyederhanaan dan penyatuan berbagai pikiran dan perasaan ke dalam satu barisan. Berbeda dengan puisi yang merupakan proyek disinterested, retorik justru memperjuangkan interest. Puisi diperlukan untuk memahami aksi, retorik untuk mengadakan aksi. Hasil puisi adalah kepenuhan, hasil retorik adalah kekuatan[7]

 

Pada perjuangan merebut kemerdekaan, retorika mendapatkan peran strategis dalam melawan dan mengusir penjajah. Tetapi sekarang ini,  rasanya retorika sedang menuju kematian, atau paling tidak mati suri. Apakah retorika bunuh diri? Atau retorika kalah bersaing dengan iklan? Atau telah terjadi “character assassination” terhadap retorika?

Pertanyaan lebih lanjut adalah, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan matinya retorika ini?

 

Raymond Kennedy (1945) pernah mengatakan bahwa  pendidikan adalah dinamit (yang akan menghancurkan) bagi sistem kolonial.[8] Pernyataan dari R.Kennedy -seorang antropolog Amerika yang terbunuh di Bandung tahun 1950, bisa diteruskan dengan pertanyaan, lalu apa yang menjadi sumbunya? Retorika! Retorikalah sumbu dinamit pendidikan untuk melawan sistem kolonial. Ketika Politik Etik dijalankan oleh Belanda di Indonesia maka jumlah kaum terdidik semakin banyak, dan ketika muncul tokoh-tokoh dengan kemampuan retorikanya, meledaklah dinamit itu, perlawanan mengusir penjajah bergulir semakin besar.

 

Matinya  retorika mengakibatkan kata akan kehilangan kekuatannya. Matinya retorika membuat kata tidak mampu untuk menggerakkan. Siapa yang diuntungkan ketika dinamit gerakan ini tak kunjung meledak karena tanpa sumbu?

 

Jika itu terjadi di masa penjajahan maka yang diuntungkan tentunya adalah penjajah. Jika itu terjadi di masa penjajahan maka rakyat tetap akan hidup dalam ketidak setaraan dan penghisapan. Rakyat akan tetap sebagai penonton kemewahan yang hadir dikalangan penjajah dan kroni-kroni, antek-antek, kompradornya. Jika itu terjadi di masa penjajahan, maka kekayaan alam di bumi tempat rakyat berpijak hanya akan memperkaya segelintir orang saja dengan menyisakan kesempatan sebatas untuk bertahan hidup bagi sebagian besar rakyat.

 

Jika itu terjadi di masa seratus tahun setelah 20 Mei 1908?

 

Kematian retorika bukan karena usia tua yang membuat sel-sel penyusunnya mengalami degenerasi. Bahasa isyarat adalah bahasa tertua yang diciptakan manusia dan sampai sekarang manusia masih menggunakannya. Bahasa oral tidak lantas mati setelah mesin cetak dan internet berkembang. Di belahan dunia lain, retorika berkembang dan tetap menempati tempat yang terhormat. 

 

Mochtar Lubis pada tahun 1977, sepuluh tahun setelah rejim Orde Baru berkuasa, menempatkan hipokritis alias munafik sebagai salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol. Ciri kedua utama adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya”, adalah kalimat yang cukup populer.[9] 

 

Hipokrisi atau munafik dan enggan bertanggung jawab adalah bagaikan virus bagi tubuh retorika. Jika yang penting dalam retorika bukan saja pikiran dan perasaan pembicara, melainkan (dan terutama) apa yang dipikirkan dan dihayati oleh para pendengar, maka kemunafikan dan ke-enggan-an bertanggung jawab dari pembicara pada dasarnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap pendengarnya.

 

Jika retorika merupakan pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran , maka kemunafikan dan enggan bertanggung jawab pada dasarnya adalah berada di luar retorika. Kemunafikan dan enggan bertanggung jawab bukan bakat-bakat tertinggi yang perlu dimekarkan dan ditumbuh kembangkan. Pemakaian istilah retorika bagi kata-kata yang keluar dari mulut orang yang penuh kemunafikan dan enggan bertanggung jawab pada dasarnya adalah, disadari atau tidak, pembunuhan karakter (character assassination) terhadap retorika. Perlahan istilah retorika menjadi busuk. Perlahan istilah retorika menjadi negative. Perlahan dinamit gerakan kehilangan daya ledaknya karena sumbu tercabut lepas darinya.

 

Jika retorika mempunyai peran strategis pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, maka matinya retorika seratus tahun kemudian adalah sebuah tragedi karena realitas ketidak setaraan secara kasat mata, dalam bentuk lain, pada era reformasi ini -  meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai, masih menyisakan masalah yang serius. Kekayaan menumpuk di tangan segelintir orang, kemewahan tidak pernah sungkan hidup di antara rakyat yang terbelit kemiskinan dan kesusahan untuk meningkatkan taraf hidup. Komprador-komprador modal asing semakin makmur ditengah ketimpangan social yang semakin lebar.

 

Apa yang dituliskan mengenai retorika pada bagian pertama adalah lebih pada, meminjam istilah Ralf Dahrendorf, tataran secara social retorika dapat hidup di masyarakat. Dahrendorf berpendapat bahwa suatu organisasi untuk dapat bertahan hidup memerlukan tiga prakondisi, yaitu prakondisi social, politik dan teknis. Kondisi teknis, mengutip Malinowsky, menurut Dahrendorf adalah watak kelompok, personalia yang diperlukan, seperangkat norma, peralatan, seperangkat aktifitas rutin dan fungsi obyektif. Kondisi politis adalah tersedianya pengakuan hak berorganisasi, jaminan politik untuk melakukan kegiatan organisasi. Kondisi social dilihat dari masyarakat yang mewadahi organisasi, berkaitan dengan system komunikasi antar warga masyarakat, pengalokasian posisi di dalam keseluruhan struktur masyarakat, kepemimpinan dan ideology.[10]

 

Berkaitan dengan kondisi social yang berkembang, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi soal pada awal pergerakan nasional atau perjuangan merebut kemerdekaan dan situasi sekarang, seratus tahun kemudian, terutama pada bagaimana masyarakat berinteraksi, berkomunikasi.

 

Pada awal pergerakan nasional, para tokoh pergerakan dan rakyat seakan sedang hidup dalam suatu pergeseran cara berinteraksi dan berkomunikasi. Dari telegraph, telepon, radio, film  kemudian televise secara simultan masuk dalam kehidupan social rakyat Indonesia pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Belum lagi, dan yang juga sangat penting, merebaknya dunia pers. Ini semua memberikan landasan perluasan interaksi bukan hanya antar warga dalam masyarakat, tetapi juga dengan dunia luar. Juga jaringan kereta api yang memungkinkan interaksi tatap muka dan mobilitas semakin intens.

 

Struktur social juga mengalami perubahan dengan berkembangnya cara produksi sebagai akibat diberlakunya Politik Pintu Terbuka sejak tahun 1870 serta meningkatnya jumlah kaum terdidik sebagai akibat semakin banyaknya sekolah sejak Politik Etik dilaksanakan. Golongan terdidik, golongan orang-orang berpengetahuan semakin mendapat tempat di kalangan rakyat, dan perlahan menggeser golongan kaum ningrat-feodal.

 

Di tengah segala pergeseran kehidupan itu dan kehidupan yang sulit dengan kesenjangan social yang semakin lebar, masyarakat pada dasarnya akan mencari pegangan kepada seorang pemimpin. Golongan ningrat-feodal semakin dilihat ketidak mampuannya sebagai pimpinan masyarakat yang semakin terbuka dan luas pengetahuannya. Apalagi dengan system penjajahan indirect rule, penguasaan tidak langsung, di mana dalam bidang kemasyarakat social politik penjajah menggunakan para ningrat-feodal ini. Kekosongan pimpinan, kebutuhan akan pimpinan membuat golongan terdidik mampu diterima sebagai pemimpin dalam denyut hidup rakyat.

 

Perlahan interaksi antara pejuang pergerakan nasional dan rakyat, peningkatan pengetahuan serta bertambah luasnya wawasan masyarakat menembus batas-batas teritori Indonesia atau Hindia Belanda saat itu, membuat sesuatu yang dibayangkan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan mulai tersusun. Imajinasi Negara bangsa masa depan perlahan memperoleh sosoknya. Ideologi pergerakan berkembang di masyarakat tidak berasal dari text book, tetapi dari praksis keseharian.

 

Tetapi, apakah dengan masyarakat yang secara social siap menerima dan berinteraksi dengan apa yang dibicarakan oleh para pemimpin pergerakan nasional serta merta retorika telah menemukan dinamitnya? Apakah dengan niat baik saja, dengan sudah berinteraksi dengan para pendengarnya, dengan memahami “jiwa” pendengarnya maka serta merta retorika akan dilahirkan?

 

Belum cukup. Untuk itu perlu dikembangkan, meminjam istilah Dafrendorf, kondisi teknis, kemampuan teknis sehingga apa yang dibicarakan melahirkan suatu retorika. Aristoteles mengajukan Lima Hukum Retorik (1) Inventio / penemuan. Pada tahap ini, pembicara menggali topic dan meneliti pendengar atau khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain adalah “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. (2) Dispositio / penyusunan. Pada tahap ini pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Misalnya ada pengantar, pernyataan, argument, dan epilog. (3) Elocutio / gaya. Pada tahap ini, pembicara memilih  kata-kata, menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. (4) Memoria / memori. Pada tahap ini, pembicara  harus mengingat apa yang ingin disampaikan, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. (5) Pronuntiatio / penyampaian. Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan.[11]

 

Aristoteles juga menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, ethos, anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat. Kedua, pathos, anda harus menyentuh hati khalayak: perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih saying mereka. Ketiga, logos, anda meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan.[12]

 

Bagaimana dengan “kondisi politis” retorika saat perjuangan merebut kemerdekaan? Retorika adalah musuh dari penjajah. Para pemimpin pergerakan nasional yang mempunyai kemampuan retorika mengalami tekanan. Maka, tidak ada kondisi politis yang mendukung berkembangnya retorika. Tetapi, mengapa retorika tidak menjadi mati? Karena kondisi politisnya diperoleh tidak secara formal dari “negara penjajah”, tetapi kondisi politisnya dibangun dari “negara” yang dibayangkan, dari sesuatu yang di cita-citakan. Negara bangsa Indonesia merdeka yang dicita-citakan telah memberikan kondisi politis yang mendukung hidup berkembangnya retorika sebagai sumbu dinamit pergerakan. Retorika di tangan pejuang kemerdekaan adalah alat strategis perjuangan, di mata penjajah retorika di tangan rakyat Indonesia adalah makar/subversif.***(Dicuplik dari:100 tahun Kebangkitan Nasional & Matinya Retorika, Feb 2008)

 

[1] Alois A. Nugroho, Manusia dan Perubahan Sejarah: Berfilsafat Bersama Jose Ortega Y Gasset, dlm Manusia Multi Dimensional, M. Sastrapratedja (ed), Gramedia, Jakarta, 1982, hal 109

[2] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[3] Ibid

[4] Ignas Kleden, Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid 2, Gramedia, Jakarta, 1992, cet 2

[9] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Inti Idayu Press, Jakarta, 1986, cet. 7

[10] Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985

[11] Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[12] Ibid

 

Retorika dan Nasibnya

21 - 3 - 2018

gallery/thatcher