www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19 - 3 - 2018

 

If the people belive there’s an imaginary river out there, you don’t tell them there’s no river there. You build an imaginary bridge over the imaginary river

-Nikita S. Khrushchev

 

Menjelang pemilihan umum biasanya akan marak diselenggarakan pendidikan pemilih (voter education), terutama bagi pemilih muda. Tentu ‘kurikulum’ pendidikan pemilih pasti lebih dari sekedar bagaimana cara mencontreng atau mencoblos secara sah. Apa itu demokrasi dan hubungannya dengan pemilihan. Juga hak-hak sebagai pemilih. Sebagai upaya meningkatkan tanggung jawab atau juga kompetensi sebagai pemilih, bagaimana melihat rekam jejak-prestasi calon, program-program atau janji-janji kampanye sampai dengan cara-cara membuat kontrak politik biasanya juga masuk sebagai tema pokok dalam pendidikan pemilih. Tulisan ini mencoba melihat kontribusi gelar-dinamika pemilihan selama lima-enam tahun terakhir terhadap ‘kurikulum’ pendidikan pemilih.

 

Fakta dalam sebaran jejak digital, sebagian besar janji-janji manis baik dalam pilkada maupun pilpres ternyata banyak diingkari, bahkan beberapa diingkari ketika hangatnya pemilihan belumlah dingin. Sungguh dalam hal ini bisa dibayangkan wajah para guru atau fasilitator pendidikan pemilih yang menyarankan untuk memilih secara cerdas dengan menilai program atau janji kampanye. Muka mereka seperti ditampar berkali-kali. Plak-plak-plak…..plak! Masihkah perlu menilai janji kampanye? Tentulah. Tapi ini tentunya bagi pengembang kurikulum pendidikan pemilih akan menjadi dilema tersendiri. Bagai menghadapi sumur tanpa dasar. Bagaimana jika pengingkaran janji kampanye seperti dilakukan pada pilpres terakhir misalnya, kembali terulang lagi?

 

Juga dengan saran membuat sebuah kontrak politik. Melihat kontrak-kontrak politik yang ditanda tangani oleh para calon dan kemudian setelah terpilih seakan dengan mudah dicampakkan, akankah pembuatan kontrak politik dengan calon masih menjadi bagian dari kurikulum pendidikan pemilih? Guru-guru, digugu dan ditiru, pendidikan pemilih tentu akan berhadapan lagi dengan dilema ini. Jika diajarkan di depan pemilih, bagaimana jika mereka mengajukan bukti nasib kontrak politik yang dibuat calon terpilih di pemilihan dulu? Serba salah, serba repot.

 

Juga rekam jejak-prestasi dimana dari sejarah-perjalanan jejak digital menunjukkan bahwa itu sangat-sangat bisa disesaki dengan prestasi tipu-tipu.

 

Maka, jika ke depan masih akan dilakukan pendidikan pemilih, semestinya ada satu tema besar: jangan (mudah) tertipu (lagi)! *** (Feb-2018)

Dilema Usaha Pemilih Rasional

gallery/tampar