www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15 - 3 - 2018

Gerhana matahari total (GMT) tahun 2016 beberapa waktu lalu bagi sementara orang mendorong pada sebuah situasi de javu. Seakan mengalami lagi bagaimana gerhana matahari total di tahun 1983-an, saat Orde Baru masih berkuasa. Yang sering muncul adalah memperbandingkan bagaimana rakyat kebanyakan menikmati keindahan gerhana matahari total dulu dan sekarang. Dulu, 33 tahun lalu, gerhana matahari total tidak hanya menghadirkan sihir keindahan semesta, tetapi juga satu bentuk teror sistematis yang dilakukan aparat pemerintah. Hampir semua orang masuk rumah dan ditutup rapat-rapat. Gerhana matahari total itu betul-betul menimbulkan ‘gerhana’ bagi rakyat kebanyakan. Membutakan. Banyak ketakutan menyelimuti perasaan saat itu.

Sangat berbeda ketika tahun 2016 gerhana matahari total kembali melewati dan dapat dinikmati sebagian besar rakyat Indonesia. Tetapi benarkah “gerhana” 33 tahun yang lalu itu tidak mungkin lagi kita alami di era reformasi ini?

GMET adalah kependekan dari Gerhana Mobil Esemka Total, dan sekali lagi, siapa bilang kita tidak mengalami “gerhana” seperti 33 tahun yang lalu itu? GMET adalah salah satu bentuk ”gerhana” yang juga hampir-hampir total sifatnya. Banyak dari kita menjadi silau bahkan buta karena “gerhana” ini. Padahal saat GMET itu terjadi penggunaan kekuatan represif oleh aparatus negara sama sekali tidak digunakan lagi. Ada apa dengan “gerhana” ini?

Gerhana sebagai fenomena alam hampir selalu akan melibatkan kerumunan orang sebagai responnya, entah kerumunan yang dirundung ketakutan, ketakjuban atau kegembiraan. Dan inilah juga kunci dari “gerhana” GMET. Bagi Joko Widodo saat itu (dalam proses pencalonan sebagai gubernur DKI) mobil Esemka bukanlah pertama-tama sebuah prestasi bagi anak-anak SMK yang terlibat di dalamnya, tetapi ia adalah sebuah alat untuk membuat kerumunan. Tidak hanya kerumunan pasif, tetapi kerumunan yang mengelu-elu-kan dirinya sebagai tokoh dibalik berhasilnya Indonesia membuat mobil nasional sendiri. Banyak ulasan kritis mengenai mobil Esemka itu sendiri –the truth behind the car, tetapi kita tidak masuk dalam masalah ini. Intinya adalah, mobil Esemka bersama dengan kerumunan di sekelilingnya ini adalah pintu masuk utama bagi sebuah manipulasi media besar-besaran.

Dari GMT era Orde Baru dan GMET era reformasi kita bisa melihat dengan jelas bagaimana media secara efektif menggeser peran aparatus negara di era Orde Baru. Lanskap ‘demokrasi’ pasca Orde Baru ini menempatkan opini publik semakin mendekat di pusat gravitasi. Dengan sebagian besar (saat itu) rakyat Indonesia memperoleh informasi melalui televisi, ‘memborong’ stasiun-stasiun televisi adalah sama efektifnya dengan bekerjanya aparatus negara. Tetapi, apakah sudah cukup? Belum! Efektifitas baru mewujud nyata ketika ditampilkan juga orang-orang yang mendapat posisi tertentu dalam masyarakat melantunkan (secara bertubi-tubi) puja-pujinya terhadap mobil Esemka, terutama sekali lagi, di televisi. Dan tentunya juga puja-puji terhadap Joko Widodo saat itu. Inilah tripartit yang dahsyat: kerumunan dan penciptanya - media massa (cetak dan terutama elektronik) - ‘tokoh masyarakat’. Salah satu resep yang pernah diulas secara mendalam oleh Rene Girard.

Menjelang tahun 2019 nanti, akankah GMET ini bermetamorfosis menjadi GMNT (Gerhana Mobil Nasional Total)? *** (14/4/2016)

Dari GMT ke GMET, Dari GMET ke GMNT?

gallery/jokowi esemka