www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

“Kenapa saya dibilang otoriter? Saya ini tidak ada potongan sekali pemimpin yang otoriter,” ucap Jokowi. “Penampilan saya tidak sangar. Ke mana-mana saya selalu tersenyum. Saya ini seorang demokrat,” 

(http://www.teropongsenayan.com/83629)

 

The Good, the Bad and the Ugly adalah film besutan sutradara Sergio Leone dengan bintang utamanya adalah Clint Eastwood, Lee Van Cleef dan Eli Wallach, lebih dari setengah abad lalu. Dan menurut rumor, film sukses ini akan dibuat ulang di salah satu negara di Asia Tenggara. Bedanya, kalau besutan Sergio Leone tersebut berlatar belakang cowboy, daur ulangnya berlatar belakang politik. Politik yang dimaksud di sini adalah politik menurut EH Carr: politik ya kekuasaan -power.

Bagaimana merebut/mempertahankan kekuasaan? Dalam skenario film versi daur ulang, untuk merebut/mempertahankan kekuasaan diperlukan jalinan antara the good, the bad dan the ugly. Merebut kekuasaan pada jaman now kebanyakan jalan yang ditempuh adalah ‘jalan demokrasi’, sedangkan mempertahankan kekuasaan, terlebih jika sedang dalam proses membangun ‘infrastruktur kekuasaan’, kadang pilihan jalan bisa sangat berlainan. Contoh jaman old, Hitler. Contoh jaman now, beberapa. Tetapi menurut skenario film daur ulang itu, sekali lagi, baik merebut atau mempertahankan kekuasaan tetap harus dijalankan di atas jalinan erat antara the good, the bad dan the ugly.

The good adalah orang yang harus nampak tangannya bersih. Boleh kurang pandai, boleh kurus, tetapi harus pintar untuk nampak bersih. Untuk nampak di depan khalayak sebagai orang baik. Dalam film daur ulang, tidak hanya nampak baik saja, bahkan dibuat layaknya seorang raja. Dari the good bermetamorfose jadi the king, perlahan tapi pasti –demikian menurut skenario. Raja, di mana semua yang keluar, semua yang dilakukan olehnya adalah baik adanya. Maka tak heran dalam salah satu bagian skenario terlibat secara intens iring-iringan kereta kencana. Yang sedang lewat lebih dari sekedar ‘yang baik’ tetapi adalah sosok raja. Biar plonga-plongo, tetapi raja. Raja tentu boleh berpakaian seenaknya, atau lempar-lempar hadiah ke rakyat jelata. Bahkan lempar-lempar hadiah ke rakyat itu sekaligus untuk menegaskan bahwa ia raja. Hanya raja boleh lempar-lempar hadiah ke rakyatnya, bahkan melempar sambil pecingas-pecingis. Lain orang tidak boleh, meski tidak plonga-plongo. Raja tentu akan di-elu-elu-kan oleh kerumunan, dan sebagainya. Itu ada dalam skenario film versi daur ulang.

Ada versi lain dari ‘the good’, yaitu sosok yang sebenarnya betul-betul baik, tidak sekedar baik dalam penampakan. Dalam film versi daur ulang, sosok ini ‘bertugas’ memberikan pengesahan atau legitimasi terhadap baiknya the good. Sebagai orang film, penulis skenario yang di waktu senggangnya sering terlibat dalam dunia periklanan itu, tentu sangat sadar akan teori ‘segitiga hasrat’-nya Rene Girard. Bagaimana khalayak bisa dibuat begitu berhasrat kepada the good? Menampakkan diri sebagai orang baik di depan khalayak belumlah cukup, perlu sesuatu yang dapat dijadikan ‘model’ bagi khalayak sehingga khalayak menjadi begitu menghasrati the good. Seperti banyak orang akhirnya merokok Marlboro, hanya karena meniru Marlboro Man.

Dunia politik, ranah kekuasaan, tentu sangat berbeda dengan dunia periklanan. Maka penulis skenario memasukkan unsur the bad. The bad terpenting jaman old adalah yang pegang senjata, sedang jaman now adalah yang pegang media. Bukan berarti semua media adalah the bad, tetapi hanya media sebagai yang terjalin dalam satu kandang the good-the bad-the ugly. Karena media tersebut dengan sadar -dan siap dicaci, terlibat dalam permainan opini sebagai partisan total. Di luar media, dalam film daur ulang itu, juga akan ditampilkan banyak pihak lain sebagai the bad. Contohnya, bagaimana seorang menteri di bidang hukum menggunakan kewenangannya untuk meng-obok-obok partai-partai oposisi. Dia harus melakukan itu dalam rangka tugas ‘membangun infrastruktur kekuasaan’ bagi the good. Dan dia siap dimaki, tentunya. Atau salah satu menteri misalnya, melakukan penekanan terhadap situs-situs kontra atau kritis di internet. Demi terbangunnya ‘infrastruktur kekuasaan’, dia siap dicibir. Karena film ini adalah film jaman now, maka sekilas juga muncul peran buzzer-buzzer sebagai the bad. Buzzer yang tidak hanya siap dicaci, tetapi juga konsisten memaki lawan. Intinya, the bad siap melakukan pekerjaan kotor bagi the good. Karena the good harus tetap nampak tangannya selalu bersih.

Lalu apa beda the bad dan the ugly? Sama-sama mengerjakan pekerjaan kotor, hanya saja kalau the bad kasat mata-terlacak, sedang the ugly tidak terlihat -kemungkinan terlacak hampir nol persen. Terendus mungkin, terlacak sangat-sangat-sulit. Maka, tahu-tahu ada foto telanjang-tidak-senonoh beredar luas, misalnya. E-mail Hillary Clinton yang katanya diretas oleh agen Russia, dan kemudian menjadi bahan gorengan, contoh lain di negeri seberang. Atau tokoh yang semula vokal tiba-tiba menjadi merunduk patuh. Juga bagaimana kekuatan uang harus dimainkan. Sampai pada paling ekstrem, penghilangan nyawa. Dan seterusnya.

Demikian jalinan the good-the bad- the ugly dalam skenario film daur ulang itu. Sayangnya, kita masih belum bisa menikmati film daur ulang tersebut untuk waktu agak lama. Karena pihak produser ingin skenario itu di-uji publik dulu secara terbatas. Dan ternyata penulis skenario harus berpikir ulang lagi karena skenario yang ditulisnya dengan ditutup lagu ceria itu ternyata publik menginginkan lain. Publik dalam uji publik itu menginginkan ujung film yang cenderung kelam. Seperti akhir dari hidup seorang Hitler. *** (Feb-Mar 2018)

The Good, The Bad, and The Ugly

gallery/goodbad

14 - 3 - 2018

gallery/jokowi karnival